Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

10 Poin tentang Kunjungan Raja Salman ke Indonesia

26 Februari 2017   01:16 Diperbarui: 26 Februari 2017   14:00 5872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: http://www.alhayat.com

Sejak dua minggu terakhir, media-media Indonesia menyorot persiapan kunjungan Raja Salman ke Indonesia, yang konon istimewa dan wah. Setahu saya, hampir semua kunjungan Raja Saudi ke sebuah negara, persiapannya memang begitu. Jadi dari segi persiapan kunjungan, sebenarnya bagi Saudi itu normal banget.

Bahwa kunjungan Raja Salman itu penting, ya iyalah. Semua kunjungan kenegaraan oleh pemimpin suatu negara ke negara lain, asumsinya adalah penting. Masak iya, sekedar jalan-jalan pelesiran.

Hanya memang, kunjungan Raja Salman ke Indonesia awal Maret 2017 memang memiliki keistimewaan tertentu, sebagai berikut:

Pertama, kunjungan itu mungkin untuk "menebus kesalahan” absennya kunjungan Raja Saudi ke Indonesia selama 47 tahun (periode ini sama dengan satu generasi). Kunjungan Raja Faisal pada tahun 1970. Artinya, ada tiga Raja Saudi yang tidak pernah berkunjung ke Indonesia (Raja Khaled, Raja Fahd, Raja Abdullah). Padahal hampir semua Presiden Indonesia pernah berkunjung ke Saudi. Dan terakhir, kunjungan kenegaraan Presiden Jokowi ke Saudi pada September 2015.

Kedua, di Timur Tengah saat ini, memang sedang berproses wacana untuk membentuk semacam "koalisi Sunni" yang relatif permanen, yang melibatkan 4 negara: Indonesia, Turki, Mesir, Saudi (gabungan total penduduk sekitar 435 juta: Indonesia 255 juta, Mesir 75 juta, Turki 73, dan Saudi 32 juta). Bisa diduga, arah koalisi ini untuk mengimbangi penetrasi dan pengaruh Syiah Iran.

Koalisi Sunni yang relatif permanen mengasumsikan, bila kerjasama permanen dapat dibangun oleh empat negara Sunni terbesar, selain akan membentuk kekuatan di bidang keagamaan, juga diasumsikan dapat menciptakan kekuatan pasar yang diperhitungkan, meski terkendala oleh jarak geografis.

Ketiga, karena itu, kunjungan Raja Salman bisa diposisikan sebagai upaya mengcounter – jika perlu mungkin untuk membendung pengaruh kunjungan Jokowi ke Iran pada Desember2016. Kira-kira Saudi ingin mengatakan, “Indonesia, semua keuntungan yang kalian dapatkan dari Iran, bisa dipenuhi oleh Saudi”. Mungkin karena itulah, delegasi rombongan Raja Salman, hampir melibatkan para pejabat untuk membuka kerjasama dengan Indonesia di semua lini.

Keempat, kerjasama Indonesia-Saudi di bidang ekonomi, selama ini, memang tidak/belum memiliki "mekanisme permanen". Tidak ada hotline antara Bina Graha dan Istana Kerajaan di Saudi. Dan Jika hal ini (hotline ekonomi) tidak diagendakan, maka follow-up kunjungan Raja Salman mungkin akan datar-datar saja.

Kerjasama ekonomi permanen tersebut antara lain bertujuan agar bila salah satu dari dua negara menghadapi krisis ekonomi tertentu, negara mitranya bisa menjadi bumper utama untuk membantu negara mitranya yang sedang menghadapi krisis. Dan mekanisme seperti ini harus dibangun melalui hotline, bukan melalui jalur diplomasi normal.

Kelima, salah satu indikator utama untuk menilai apakah Indonesia sukses memanfaatkan secara positif kunjungan Salman adalah keluarnya kebijakan Kerajaan yang menormalkan kembali kuota jumlah jemaah haji Indonesia (10 persen dari jumlah penduduk Muslim per tahun). Persoalan kuota jemaah haji ini sangat serius, sebab daftar tunggu calon haji di Indonesia, di beberapa provinsi, bahkan sudah mencapai 30 tahun.

Meskipun harus diakui, daftar tunggu panjang ini sebenarnya bukan semata karena pembatasan kuota jemaah haji, tapi juga terutama disebabkan oleh adanya kredit perbankan yang memudahkan warga Indonesia untuk mendaftar haji.

Sebagai imbalannya, Raja Salman kemungkinan akan memeinta Indonesia mencabut moratorium pengiriman TKI ke Saudi yang berlaku sejak 2011. Perlu dicatat, sejak tahun 1980-an, hampir semua keluarga di Saudi mengandalkan pembantu rumah tangga (PRT) asal Indonesia. Dan mereka relatif merasa lebih nyaman dengan PRT asal Indonesia dibanding PRT dari negara lain. Dan pemberlakuan moratorium itu telah mencipatakan "krisis rumah tangga" di Arab Saudi.

Ilustrasinya, bila Anda orang kaya, tentu akan merasa sangat direpotkan bila harus mengganti popok bayi setiap satu jam.

Tapi harus dicatat, meski ada moratorium, tetap saja ada banyak PJTKI nakal, yang mengirim TKI ke Arab Saudi melalui jalur ilegal. Belum lagi persoalan sejumlah kasus yang menimpa TKI di Arab Saudi, sebagian di antaranya terancam hukum mati.

Selain itu, harus diakui bahwa pengiriman TKI ke Saudi, yang berlangsung sejak tahun 1980-an, telah menimbulkan berbagai persoalan sosial, dan image yang hampir semuanya nggak enak. Sebagian orang Indonesia menilai bahwa para TKI di Saudi, khususnya PRT, mendapatkan perlakuan yang mirip-mirip perbudakan. Dan image itu mempengaruhi cara pandang sebagian warga Saudi setiap kali melihat orang Indonesia. Seorang istri atau anak perempuan dari diplomat asal Indonesia misalnya bisa diperlakukan layaknya seorang PRT. Ini persoalan budaya, dan perlu proses waktu untuk memperbaikinya.

Keenam, secara tekonologi, saya berani memastikan Indonesia jauh lebih maju dibanding Saudi. Kalau Anda berkunjung ke kota-kota Saudi, memang akan terkesan modern. Tapi hampir semua kemajuan itu dioperasikan oleh tenaga asing. Boleh dibilang, Saudi adalah negara pembeli teknologi, bukan pengelola apalagi produsen teknologi.

Ilustrasinya, kita tidak akan ketemu sentra-sentra pemalsuan barang-barang elektronik di Saudi. Artinya, jika membeli handphone merek iPhone atau camera Sony misalnya, tidak usah ragu, barangnya pasti asli, hundred percent. Tapi kalau di Indonesia, sering kita sulit membedakan mana iPhone dan camera Sony yang asli, semi asli dan yang rakitan.

Karena itu, salah satu agenda besar Raja Salman adalah melakukan kerjasama strategis dengan Indonesia di bidang teknologi (modal Saudi, tenaga ahli Indonesia). Dan Indonesia mampu dan siap dengan tawaran kerjasama tekonologi tersebut.

Ketujuh, setiap manfaat selalu ada sisi negatifnya. Secara sosial keagamaan, muncul kekhawatiran bahwa bila Saudi Arabia hadir di Indonesia “dengan kekuatan penuh”, maka salah satu implikasinya adalah perkembangan kelompok-kelompok yang biasa disebut penganut Wahhabisme. Terkait hal ini, ada kubu keagamaan yang mungkin akan merasa cukup terganggu: kalangan Nahdliyyin dan komunitas Syiah (Tapi uraian soal ini membutuhkan beberapa artikel tersendiri).

Kedelapan, akibat perkembangan global sejak beberapa tahun terakhir, Saudi memang sedang menjejaki negara tujuan investasi alternatif. Seperti diketahui, sejak tahun 1970-an, investasi Arab Saudi yang bernilai triliunan dolar terfokus ke Amerika dan Eropa Barat. Namun akibat perkembangan global, investasi itu rentan dengan ancaman pembekuan aset atau kadang dijadikan “senjata blackmail” untuk menekan Saudi. Buah simalakama bagi Saudi.

Nah, di antara sekian banyak negara Muslim Sunni di dunia, Indonesia menawarkan pasar yang menjanjikan. Bila akhirnya Saudi memilih Indonesia sebagai tujuan alternatif investasinya, maka salah satu negara yang mungkin paling akan cemburu adalah Malaysia.

Kesembilan, di bidang pariwisata, memang banyak warga Saudi yang menghabiskan masa liburannya di Indonesia, di Bali atau di puncak Bogor. Tapi pengalaman saya beberapa kali berkunjung ke Arab Saudi, sejak tahun 1990-an, banyak sekali generasi muda Saudi yang lebih akrab menyebut tujuan wisata di Malaysia (misalnya Langkawi), dibanding Bali dan Lombok. Sebab promosi pariwisata Malaysia di Saudi memang dilakukan secara massif. Hampir di semua kota Saudi kita bisa ketemu baliho besar yang mempromosikan Langkawi, dan tidak satupun baliho tentang Bali atau Lombok atau kota wisata Indonesia lainnya.

Kesepuluh, salah satu karakter utama Saudi dalam membangun hubungan dan kerjasama dengan negara-negara lain adalah karakter kerajaan. Dan setiap kerajaan, sentuhan keluarga intinya tentu sangat menentukan. Dan untuk memahami karakter seperti di diperlukan pendalaman tersendiri.

Kira-kita begitu sepuluh gambaran kasar tentang tujuan dan rencana di balik kunjungan Raja Salman ke Indonesia. Dengan catatan, setiap rencana kerjasama strategis antara dua negara, tentu tidak akan langsung berjalan mulus hanya melalui satu-dua-tiga kali kunjungan.

Sebagai tuan rumah, kita mengucapkan: ahlan wa marhaban (selamat dan sambutan hangat) untuk Raja Salman dan rombongan selama berada di Indonesia.

Syarifuddin Abdullah |Ahad, 26 Februari 2017.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun