Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Mengkalkulasi Arah Koalisi Cikeas di Putaran-II Pilgub DKI

20 Februari 2017   10:40 Diperbarui: 20 Februari 2017   11:11 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti diketahui, kubu Koalisi Cikeaspada putaran pertama Pilgub DKI, 15 Februari 2017, terdiri atas empat Parpol (Partai Demokrat/PD, PKB, PPP dan PAN). Gabungan koalisi ini hanya mampu meraih sekitar 17 persen suara. Jagoannya Agus-Sylvi terhempas, dan dinyatakan kalah menurut perhitungan quick-count dan juga real-count KPUD DKI.

Pertanyaannya, menghadapi putaran kedua, kemana arah koalisi kubu Cikeas: bergabung dengan kubu Anies-Sandi atau kubu Ahok-Djarot? Atau malah tidak bergabung kemana-mana? 

Sejauh ini, belum ada pernyataan resmi dari empat Parpol tersebut. Tapi barangkali kalkulasi berikut bisa memberikan gambaran kasarnya.

Dari empat Parpol tersebut, ada dua Parpol yang diperkirakan akan bergabung dengan kubu Anies-Sandi, yaitu PPP dan PAN. 

Sementara dua Parpol lainnya, PD dan PKB, pasti akan bingung. Tapi lebih cenderung akan memilih bersikap netral: membiarkan pendukungnya menentukan pilihannya sendiri di antara dua kubu yang bersaing. Berikut alasan-alasannya.

PPP (Partai Persatuan Pembangunan)

PPP sebenarnya berada pada posisi dilematis. Sebab PPP memiliki menteri di Kabinet Jokowi-JK, yaitu Menteri Agama. Namun massa PPP, diasumsikan akan lebih cenderung beralih ke Anies-Sandi.

Artinya, secara etika politik, PPP mestinya bergabung dengan kubu Ahok-Djarot yang diusung PDIP, yang juga diasumsikan didukung oleh Bapak Presiden Jokowi. Namun dari segi ideologi politik (jika memang punya ideologi politik), massa PPP akan lebih condong ke kubu Anies-Sandi. 

Persoalan tambahan bagi PPP adalah adanya dualisme kepengurusan. Pada putaran pertama, satunya berkoalisi dengan Cikeas, satunya lagi berkoalisi dengan Istana.

PAN (Partai Amanat Nasional)

Posisi PAN tak beda jauh dengan PPP.Sebab PAN juga punya menteri di Kabinet Jokowi, yakni Menteri Pendikan Nasional. Meskipun Mendiknas Effendi Muhajir sebenarnya lebih mewakili Muhammadiyah. Tapi secara kultural, PAN dan Muhammadiyah tak terpisahkan.

Selain itu, secara tidak langsung, PAN dan Muhammadiyah juga ditengarai ikut aktif mendukung berbagai aksi yang menentang Ahok. Dibanding dua Parpol Islam lainnya, PAN punya posisi tawar yang relatif layak dihitung: Ketum PAN, Zulkifli Hasan adalah Ketua MPR.

PKB (Partai Kebangkitan Bangsa)

PKB boleh dibilang pasti lebih bingung. Sebab insiator pemunculan nama Agus-Sylvi sebagai kandidat kubu Cikeas, konon pertama kali dimunculkan oleh PKB. 

Memang, sejak awal, sikap PKB yang bergabung dengan Koalisi Cikeas agak membingungkan. Sebab Muhaimin Iskandar adalah satu-satunya pimpinan Parpol berbasis Islam yang menjadi pentolan pendukung Jokowi pada Capres 2014. PKB bahkan punya emat menteri di Kabinet Jokowi (Menristek, Menpora, Mendes, Menteri Tenaga Kerja). Lebih membingungkan lagi, sebab PBNU yang konon berada di bawah kendali Muhaimin, justru cenderung tidak mempersoalkan aqidah calon pemimpin DKI-1.

Asumsinya PKB akan lebih berat kembalike pangkuan awalnya, dan bergabung dengan kubu Ahok-Djarot. Riskonya, Muhaimin kurang lebih akan diledek begini: gua bilang apa juga, Min. Nggak usah kemana-mana.Bingung sendiri kan?

PD (Partai Demokrat)

PD pasti lebih bingung lagi. Sebab PD bukan hanya akan mempersoalkan kemana akan bergabung, tapi lebih penting bagi PD adalah sikap politik PD tetap bisa menjaga air muka dan gengsi Sang Ketua Umumnya, SBY. 

Jika bergabung dengan kubu Anies-Sandi, SBY menghadapi dua dilema: memposisikan diri di bawah Prabowo Subianto, dan pada saat yang sama, juga mungkin akan semakin memicu "persiteruannya" dengan Istana (Jokowi dan Megawati Soekarnoputri).

Karena itu, jika cerdas, PD semestinya akan lebih memilih posisi netral: membiarkan pendukungnya menentukan pilihannya sendiri di antara dua kubu yang bersaing di putaran kedua Pilgub DKI. Sikap seperti ini juga pernah dilakukan PD pada Pilpres 2014.

Apapun itu, salah satu konsekuensi lanjutan dari koalisi di atas adalah reshuffle kabinet. Besar kemungkinan menteri-menteri dari Parpol yang memilih bergabung dengan kubu Anies-Sandi, harus legowo diganti. Begitulah konsekuensi politis dari sebuah sikap politik.

Intinya bagi Parpol mantan Koalisi Cikeas punya tiga pilihan utama: (1) netral, (2) gabung dengan Anies-Sandi dan (3) mendukung kubu Ahok-Djarot. Saya malah curiga, terbuka kemungkinan mereka akan bermain di tiga kaki secara simultan dan paralel. Dan poin inilah yang membuat pertarungan menuju DKI-1semakin menarik. Khususnya bila dikaitkan dengan wacana yang mengatakan, pemilih DKI sebenarnya tidak pernah terlalu patuh pada keputusan Parpol.

Syarifuddin Abdullah| Senin, 20 Februari 2017 / 24 Jumadil-ula 1438H.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun