Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

“Pemilu Santun” itu Kayak Apa Sih?

19 Februari 2017   15:33 Diperbarui: 19 Februari 2017   21:20 1807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak orang yang tidak mencermati bahwa hasil Pilpres Amerika 8 November 2016, jumlah suara Hillary Clinton (65.844.954) mengalahkan perolehan suara Donald Trump (62.979.879), dengan selisih suara hampir tiga juta suara (2.865.075). Lho, kok, bisa Donald Trump yang dimenangkan?

Karena penentuan pemenang Pilipres Amerika bukan mengacu pada jumlah suara di TPS, tapi berdasarkan mekanisme kuota electoral vote untuk setiap negara bagian (state), yang antara lain berbasis jumlah penduduk di masing-masing negara bagian. Negara Bagian California misalnya memiliki kuota 55 electoral vote, sementara Negara Bagian Montana hanya punya 3 Electoral Vote.

Saya tidak tahu apakah Pilpres Amerika seperti itu dapat disebut pemilu santun atau tidak santun. Selisih suara yang hampir tiga juta itu, bukan jumlah sedikit. Mereka yang suaranya tak dianggap tentu akan kecewa. Tapi begitulah setiap negara memiliki aturan pemilunya masing-masing.

Karena itu saya sering gemes cenderung jengkel mendengar atau membaca ulasan para pengamat Indonesia, yang dengan enteng mengatakan misalnya, kita berharap pemilu berlangsung santun. Padahal kalau didebat, pemilu santun itu kayak apa sih? Mungkin kita tidak akan pernah memperoleh penjelasan yang meyakinkan.

Kembali ke Pilpres Amerika November 2016, hampir semua materi kampanye negatif dan juga kampanye hitam yang dilancarkan oleh kedua kubu, dipublikasan secara tidak santun bahkan sering vulgar (setidaknya menurut ukuran budaya kesantunan Indonesia).

Belakangan muncul wacana yang membedakan antara negative campaign (kampanye negatif) dengan black campaign (kampanye hitam). Katanya, negative campaign “halal” dilakukan karena berisi upaya satu kubu untuk mengkritisi atau membantah materi kampanye kubu lain. Sementara black campaign lebih cenderung berisi hoax dan lebih bertujuan untuk pembunuhan karakter, yang menyerang kubu lain.

Buat saya, perbedaan defenisi dan praktek antara negative campaign dengan black campaign, seandainya pun benar ada perbedaannya, paling hanya beda-beda tipis.

Dalam kampanye Pilpres Amerika yang terakhir, di minggu terakhir periode kampanye, kubu Donald Trump tiba-tiba melancarkan materi kampanye yang menyerang integritas Hillary Clinton: membocorkan ribuan email pribadi Hillary Clinton ketika menjabat Menlu Amerika. Celakanya, pembocoran itu konon didalangi oleh sebuah tim cyber-attacks yang dikendalikan oleh Presiden Rusia, Vladimir Putin. Apakah ini santun atau tidak santun, nobody can explain it.

Sumber gambar: onsizzle.com
Sumber gambar: onsizzle.com
Biasanya, meski tidak terlalu intens, saya mengamati periode kampanye setiap kali terjadi Pemilu di beberapa negara. Dan kesimpulan saya, pada setiap pemilu, semua kubu yang bersaing pasti menggunakan negative campaign dengan black campaign secara paralel dan simultan.

Termasuk soal money politics. Setahu saya, undang-undang pemilu kita tidak mendefenisikannya dengan jelas. Sementara pada saat yang sama, undang-undang itu juga membolehkan perusahaan atau individu memberikan sumbangan dalam jumlah tertentu kepada salah satu kandidat.

Ketika satu kubu kandidat menerima sumbangan perusahaan dan/atau individu –yang halal menurut UU– kemudian kubu kandidat itu menyalurkannya misalnya dalam bentuk “serangan fajar” kepada pemilih, di mana letak kelirunya? Apa bedanya antara membuat baliho kandidat yang dipajang di jalan-jalan yang juga perlu duit, dengan memberikan langsung uang serangan fajar kepada para pemilih.

Dan jangan salah. Pengertian dasar berkampanye dalam pemilu adalah memengaruhi pemilih untuk memilih kandidat tertentu. Dan tidak semua pemilih dapat dipengaruhi dengan baliho di jalan-jalan, atau acara dialog langsung dengan pemilih, atau Debat Publik yang disiarkan langsung televisi. Sebagian pemilih (untuk tidak mengatakan sebagian besar pemilih) memang sangat efektif jika dipengaruhi melalui serangan fajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun