Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Peran Intelijen dalam Mengamankan 101 Pilkada Serentak, 15 Februari 2017

16 Februari 2017   09:30 Diperbarui: 16 Februari 2017   11:18 959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tidak tahu banyak bagaimana mekanisme kerja lembaga Intelijen dalam mengawal setiap perhelatan besar. Namun jika suatu perhelatan massif yang diselenggarakan serentak di 101 wilayah akhirnya dapat berlangsung aman – selain karena pengamanan kasat mata berupa mobilisasi dan penggelaran aparat keamanan: Polri dan TNI – pastilah juga karena peran intelijen.

Dalam hal ini, patut disampaikan apresiasi kepada Pemerintahan Jokowi-JK secara umum, dan kepada lembaga-lembaga intelijen nasional yang diamanatkan oleh Undang-undang untuk menciptakan keamanan nasional: Baintelkam Polri, BAIS TNI dan terutama Badan Intelijen Negara (BIN).

Dan seperti diketahui, berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, semua kerja operasional intelijen nasional dikoordinasikan oleh BIN.

Dan mengelola Pilkada serentak yang berlangsung simultan di 101 daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota) tentu bukan persoalan enteng. Sebab Pilkada adalah event politik secara par excellence, yang melibatkan berbagai kepentingan yang sering saling kontradiktif, tumpang tindih, dan masing-masing kepentingan berusaha untuk mengalahkan kepentingan kubu lain.

Sekali lagi, saya tidak tahu banyak bagaimana mekanisme kerja lembaga Intelijen, namun berdasarkan pengetahuan tentang lembaga-lembaga intelijen di negara-negara lain, peran utama BIN dalam mengamankan 101 Pilkada serentak pada 15 Februari 2017, kira-kira dapat digambarkan antara lain sebagai berikut:

Pertama, tujuan utama setiap lembaga intelijen di negara manapun adalah menciptakan keamanan dan mencegah benturan sekecil apapun, yang berpotensi menciptakan spiral benturan. Sebab bila Pilkada serentak, apalagi di DKI, berlangsung kacau, maka salah satu pihak yang akan paling disalahkan adalah BIN.

Kedua, karena itu, lembaga intelijen akan memetakan – sedetail mungkin – para pihak atau setiap kelompok yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam sebuah event. Untuk kasus Pilgub DKI misalnya, BIN pasti telah memetakan kekuatan dari masing-masing tiga kubu yang bersaing. Dan di era maya sekarang ini, proses pemetaan awal setiap kelompok cukup terbantu oleh Medsos dan media online lainnya.

Dalam bayangan saya, dengan mengandalkan database lama, BIN misalnya, pasti punya informasi detail tentang semua tokoh utama di setiap kubu, organisasi-organisasi pendukugnya baik yang resmi-semiresmi-dan-siluman, jumlah massanya, kelompok mana yang berpotensi memprovokasi kekacauan dan seterusnya.

Ketiga, setelah memetakan kekuatan masing-masing kubu, Intelijen biasanya akan merumuskan langkah-langkah, yang diasumsikan dapat “menyalurkan” semua kepentingan yang saling kontradiktif itu secara damai. Peran inilah yang biasa disebut “kanalisasi kepentingan”. Tujuannya, jangan ada pihak yang merasa kepentingannya dibendung.

Dalam prakteknya, proses “kanalisasi kepentingan yang kontradiktif” tersebut akan dilakukan melalui mekanisme penggalangan. Dengan kata lain, melalui gaya kerja intelijen yang tidak kasat mata, BIN akan mengarahkan – dan bila perlu ikut membantu – setiap kelompok agar dapat menyalurkan kepentingannya secara damai, tentu melalui mekanisme yang diperbolehkan secara hukum. 

Dalam keadaan tertentu, BIN hanya akan mulai melakukan “pembendungan kepentingan”, bila penyaluran kepentingan satu kelompok diperkirakan akan berbenturan dengan penyaluran kepentingan kelompok lain. Tujaunnya, sekali lagi, mencegah benturan sekecil apapun, yang berpotensi berkembang menjadi spiral benturan. Contoh kasus yang paling kasat mata, bila ada dua kelompok massa yang melakukan aksi di satu titik, maka prosedur standar yang biasanya dilakukan adalah menciptakan “batas demarkasi” yang memisahkan dua kelompok tersebut. Tujuannya sekali lagi mencegah benturan sekecil apapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun