Sebenarnya saya mau menyebut SBY sedang sensi-sensinya. Namun tiap orang yang sensi, biasanya juga menjadi lucu,seperti seorang anak kecil yang sedang gandrung bertingkah untuk mencari perhatian orang lain.
Atau boleh juga disebut SBY sedang mengalami puncak sensitivitas. Dicolek sedikit, langsung bereaksi. Seakan-akan semua dinamika politik nasional terjadi untuk menyudutkannya dan menyasar dirinya. Padahal siapa sih yang peduli-peduli amat?
Tiap sebentar menggelar konferensi pers, atau mengoceh di akun Medsos-nya. Dalam waktu tiga bulan terakhir, termonitor paling tidak empat kali SBY memicu adrenalin para netizen untuk mem-bully-nya di Medsos dan Blog. Bahkan dalam dua pekan pertama Februari 2017, SBY dua kali menggelar konferensi pers.
Pertama, Rabu 02 Nopember 2016, SBY menyampaikan “pidato lebaran kuda”. Intinya mengomentari soal aksi anti Ahok. Menurut SBY, aksi unjuk rasa besar akan selalu ada apabila tuntutan tak pernah didengar. Bahkan sampai lebaran kuda sekalipun.
Kedua, Rabu, 01 Februari 2017: SBY mempersoalkan isu penyadapan setelah muncul pernyataan Ahok dan pengacaranya di Sidang Ahok pada 31 Januari 2017. SBY menuding berbagai pihak, terutama lembaga intelijen telah melakukan penyadapan terhadap dirinya.
Ketiga Senin, 06 Februari 2017: SBY bereaksi terhadap aksi demo segelintir mahasiswa di rumah kediamannya di bilangan Kuningan Jakarta, dengan menciut di akun Twitter-nya (@SBYudhoyono): “Saya bertanya kpd Bapak Presiden & Kapolri, apakah saya tidak memilikihak utk tinggal di negeri sendiri,dgn hak asasi yg saya miliki? *SBY*."
Keempat, Rabu malam, 14 Februari 2016: SBY lagi-lagi menanggapi pernyataan Antasari Azhar, yang mengatakan bahwa SBY-lah aktor intelektual di balik kasus kriminalisasi terhadap Antasari Azhar, terkait dengan pembunuhan Nasaruddin.
Ya, SBY sedang sensi-sensinya, dan karena itu boleh juga dibilang sedang lucu-lucunya. Sebab jika setiap ada dinamika politik yang mencolek dirinya, SBY langsung bereaksi, lama-kelamaan, SBY akan selalu menjadi sasaran colek-colekan.
Tentu saya tidak meremehkan keempat kasus itu, apalagi pernyataan Antasari Azhar yang terakhir. Namun, saya coba membuat simulasi sederhana (detailnya tidak dipublikasikan), dengan mengasumsikan SBY TIDAK menanggapi keempat kasus di atas, dan hasilnya sungguh positif: wibawa dan martabat SBY lebih terhormat dan dihormati, seandainya beliau tidak bereaksi dan merelakan semua serangan terhadap dirinya. SBY mungkin perlu belajar tentang cara “melawan dengan diam”.
Saya jadi ingat figur Soeharto, paska lengser 1998, yang diserang kayak apapun, tetap saja anteng tak bergeming. Dan akhirnya menuai simpati.
Dan jika dibandingkan, isu dan kasus yang digunakan sebagai materi untuk “menyerang” SBY, gak ada apa-apanya bila dibandingkan materi serangan yang pernah memberondong Soeharto, nyaris tanpa henti, semasa hidupnya sejak lengser 1998 hingga wafat.