Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Belum Layak Dikukuhkan sebagai "Guru Bangsa"

8 Februari 2017   11:32 Diperbarui: 8 Februari 2017   11:36 1114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mestinya, setiap mantan Presiden Negara akan secara otomatis menjadi guru bangsanya atau setidaknya berusaha memposisikan dirinya sebagai guru bangsa. Masalahnya, guru bangsa itu bukan predikat akademis, makanya tidak enteng diraih. Sebab syarat pertama dan utama seorang guru bangsa adalah cerdas merangkul semua kalangan, bukan malah bermanuver untuk mencari atau menambah musuh.

Dan ada beberapa kriteria yang mestinya terpenuhi jika seorang tokoh ingin merangkul semua kalangan, sebagai berikut:

Pertama, selalu siap mental untuk menihilkan kepentingan yang sarat sentuhan pribadi. Sebab, jika kepentingan pribadi dijadikan acuan dalam bermanuver, secara otomatis akan mengikis kredibilatasnya di mata publik, dan karena itu, belum layak didaulat menjadi guru bangsa.

Selanjutnya, kedua, sulit dibayangkan seorang calon guru bangsa akan dapat merangkul semua kalangan, bila dia masih sibuk mengidentifikasi dirinya – sering secara sangat tajam – dengan komponen terentu, betapapun hebatnya dan pentingnya komponen itu. Jika bermanuver berdasarkan identifikasi diri dengan komponen itu, maka haknya akan langsung gugur untuk dinobatkan sebagai guru bangsa.

Ketiga, dan poin ini merupakan konsekuensi logis dari dua syarat di atas, seorang calon guru bangsa akan menghindari sikap dan perilaku, yang enteng menyalahkan tokoh lain, kelompok lain, apalagi institusi tertentu. Perilaku yang mudah menyalahkan orang lain – selain mengindikasikan ketidakmatangan personality – juga biasanya akan memicu permusuhan dan menambah musuh. Fatalnya, jika salah langkah sedikit saja, dirinya akan langsung diposisikan sebagai musuh bersama. Akibatnya, repot sendiri! Sebab kontras dengan karakter dasar seorang guru bangsa, yang seharusnya tulus mendorong persahabatan dan menambah teman.

Keempat, sebenarnya tiga syarat di atas sudah relatif cukup sebagai kerangka dasar untuk menjadi guru bangsa. Namun secara taktis, ketika bermanuver di depan publik, terutama di era media sosial sekarang ini, seorang calon guru bangsa harus cerdas dan cermat memilih persoalan, yang memang pantas dipersoalkan. Bukan merespon secara overacting setiap kali dicolek sedikit saja. Artinya, tidak gampang terpancing bereaksi over terhadap persoalan, yang sebenarnya tidak perlu dipersoalkan.

Jika seorang calon guru bangsa cenderung dan terkesan masih doyan mempersoalkan persoalan-persoalan yang sebenarnya tidak layak dipersoalkan, berarti dia sukarela menawarkan dirinya sebagai sasaran tembak yang empuk (vulnerable), dan mohon maaf, juga terbaca cengeng.

Pidato mengenai “lebaran kuda”, lalu narasi tentang penyadapan, kemudian ciutan mengenai keamanan pribadi yang “terancam” hanya oleh segelintir mahasiswa – menurut saya – adalah pilihan isu yang tidak cerdas untuk seorang sekelas calon guru bangsa.

Tidak aneh jika isu-isu itu menjadi santapan segar oleh para netizens di media sosial. Seorang netizen, pada 08 Februari 2017, dengan kalimat satir menulis yang maknanya begini: “Apakah sakit rindu saya, ongkosnya juga ditanggung BPJS?” He he he.

Dan keempat syarat guru bangsa di atas tentu saling terkait satu sama lain. Bila satu gugur, predikat guru bangsa akan pincang, ora genah.

Kesimpulannya sederhana: menihilkan kepentingan pribadi, selalu berupaya mengidentifikasi diri sebagai bagian dari sebanyak mungkin kelompok strategis, dan tidak gampang menyalahkan pihak lain kemudian berusaha untuk selalu cerdas memilih isu yang digunakan bermanuver di depan publik akan berujung pada sikap kearifan: layak menjadi guru bangsa.

Sebaliknya, bila masih kental sentimen pribadinya, lalu masih memposisikan kelompoknya sebagai yang pertama dan utama, kemudian masih mudah menyalah-nyalahkan pihak lain, dan cenderung mengeluhkan semua persoalan yang mencolek pribadinya, ya, tidak arif dan tidak bijak. Dan mohon maaf, belum layak juga untuk dinobatkan sebagai guru bangsa.

Syarifuddin Abdullah | Rabu, 08 Februari 2017 / 12 Jumadil-ula 1438H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun