Ada beberapa hal yang lazim terjadi sepekan menjelang hari pencoblosan pada setiap Pemilu, sebagai berikut:
Pertama, lazimnya, sekitar duapertiga pemilih sudah menentukan pilihannya. Mengacu pada data Daftar Pemilih Tetap (DPT), yang direlease KPU DKI pada Desember 2016, sebanyak 7,1 juta. Dengan asumsi pemilih yang menggunakan hak pilihnya sebesar 70 persen dari 7,1 pemilih, berarti ada sekitar 4,7 juta pemilih yang telah menetapkan calon pilihannya (mungkin termasuk Anda).
30 persen pemilih sisanya, yang biasa disebut swing voters, diasumsikan tetap tidak menggunakan hak pilihnya. Tapi jika mereka tiba-tiba tertarik ikut mencoblos, bisa mengubah konstelasi perolehan suara. Jadi jangan terlalu heran bila hasil quick count setiap Pemilu agak berbeda dari hasil perkiraan semua survei terakhir.
Kedua, karena sebagian besar pemilih sudah menentukan pilihannya, maka sebenarnya kecil kemungkinan mereka mengubah pilihan. Kecuali – dan ini yang penting – ada isu besar dan sangat serius (bisa benar dan mungkin hoax), yang menimpa salah satu Paslon. Karena itu, setiap pemilih harus benar-benar cermat ketika menyimak berbagai berita tentang Paslonnya dan Paslon pesaingnya.
Ketiga, sepekan sebelum hari pencoblosan kadang juga disebut “minggu tenang”. Mestinya sudah tidak ada agenda kampanye resmi. Tapi itu di atas kertas. Justru pada minggu tenang itulah, relawan setiap Paslon akan bergerak menyelusup dengan model sunyi-senyap, nyaris tak terdeteksi. Tujuannya terutama untuk mengamankan kantong-kantong suaranya, sekaligus berusaha menelikung kantong-kantong suara pesaing. Pada periode minggu tenang itu pula, setiap Paslon akan cenderung “menghalalkan semua cara”. Maka waspadalah! Distribusi “serangan fajar” juga dilakukan pada periode minggu tenang, terutama pada hari sampai malam sebelum hari pencoblosan.
Biasanya juga, isu besar dan serius yang dirancang dan diasumsikan berpotensi akan mampu menggerogoti suara pesaing, disimpan oleh setiap Paslon dan baru akan dilempar ke publik pada periode minggu tenang. Maka waspadalah!
Tapi ada juga beberapa catatan umum yang mungkin perlu disimak:
Pertama, partisipasi setiap pemilih secara perorangan selalu diposisikan sebagai penentu untuk memenangkan setiap Paslon. Jadi suara Anda sangat mahal harganya, karena konsekuensi dari pilihan setiap pemilih akan berlangsung selama 5 tahun ke depan, yakni sampai Pilgub berikutnya.
Kedua, namanya pemilihan, sebelum quick count berakhir – biasanya sekitar 5 jam setelah pencoblosan ditutup – setiap Paslon masih berpotensi untuk menang, tapi juga bisa kalah. Artinya, ketika setiap suara pemilih menjadi penentu kemenangan, maka pada saat yang sama, setiap pemilih juga harus siap menang dan rela kalah.
Ketiga, siapapun pemenang Pilgub DKI 2017, toh, pada akhirnya kemenangan itu hanya akan berlangsung selama lima tahun berikutnya. Lagi pula, pemenang pada putaran pertama belum tentu unggul di putaran kedua, tentu dengan asumsi Pilgub DKI 2017 akan berlangsung dua putaran. Dan naga-naganya sih akan dua putaran.
Keempat, mengacu pada pengalaman puluhan Pilkada sebelumnya, kemenangan satu Paslon, toh, pada akhirnya juga tidak akan terlalu signifikan terhadap kehidupan real sebagian besar pemilih. Kuncinya, semakin dalam dan semakin dekat hubungan Anda dengan Paslon tertentu, semakin besar pengaruhnya (positif ataupun negatif) terhadap kehidupan keseharian real Anda selama lima tahun ke depan. Maka mari menerima siapapun pemenangnya.