Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Hashemi Rafsanjani in Memoriam

11 Januari 2017   13:26 Diperbarui: 11 Januari 2017   15:15 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hashemi Rafsanjani berimamah putih dan berjubah coklat, bersama Supreme Leader Imam Ali Khamenei.Sumber foto: http://parstoday.com/

Hashemi Rafsanjani, yang wafat 8 Januari 2017 di usia 82 tahun, merupakan salah satu tokoh dunia Islam yang memiliki pengalaman “relatif lengkap”: ilmuwan sebagai salah satu ayatullah, birokrat yang pernah menduduki beberapa jabatan tertinggi di Iran, revolusioner, konseptor kebijakan Iran di tingkat regional dan internasional, dan salah satu arsitek Revolusi Iran 1979.

Sekitar sebulan Revolusi Islam berjalan, ketika situasi politik dan keamanan belum settle, Rafsanjani mengalami upaya pembunuhan: tertembak di perut, tapi cederanya tidak serius. Istrinya yang bahkan meloncat untuk melindunginya. Sesaat kemudian, Imam Khomeni menyampaikan komentar yang kemudian menjadi headline hampir semua media di Iran: “Great men of history do not die”.

Sebelum Revolusi Iran 1979, di era Rezim Reza Pahlevi, Rafsanjani pernah mengalami 7 kali ditangkap dan pernah ditahan selama 4 tahun 5 bulan dengan tuduhan melakukan kegiatan makar klandestein. Di puncak Revolusi Iran, Rafsanjani adalah salah satu tangan kanan Imam Khomeni dan konseptor Sistem Pemerintahan Islam Iran yang masih berlaku hingga hari ini.

Sejak 1980 sampai 1989, Rafsanjani sudah menjabat ketua parlemen, yang saat itu, berarti juga menjabat secara de facto sebagai panglima militer Iran selama Perang Irak-Iran (1981-1989). Lalu menjabat presiden Iran keempat selama dua periode pada 1989 – 1997. Pada Pilpres 2005, Rafsanjani kembali bersaing memperebutkan kursi presiden, tapi kalah oleh Ahmadi Nejad.

Ketika menjadi presiden, dunia Barat memosisikannya sebagai figur moderat, yang cenderung menghindari konfrontasi terbuka dengan pihak barat, dan pernah mengatakan tidak ingin bermusuhan dengan Israel. Jauh sebelumnya, konon Rafsanjani pula yang paling ngotot mendesak Imam Khomeni untuk menghentikan perang melawan Irak pada 1989.

Di bidang ekonomi, Rafsanjani ditempatkan pada posisi yang mendukung dan menginisiasi kebijakan-kebijakan ekonomi Iran yang dianggap “proliberal”. Mungkin karena itulah, majalah The Economist pernah menjulukinya sebagai "veteran kingmaker." Rafsanjani sering digolongkan kubu reformis melawan tokoh-tokoh konservatif di Iran.

Ada sebuah catatan menarik, kalau memperhatikan semua rekaman video dan fotonya yang beredar di media massa, Rafsanjani sering tampil dengan jubah berwarna coklat, dan selalu mengenakan imamah (kain yang dililitkan di kepala) berwarna putih. Bandingkan misalnya dengan Imam Khomeni atau Imam Khamenei yang selalu berjubah hitam dan imamah hitam. Saya pernah menanyakan soal warna pakaian dan imamah ini kepada seorang warga Iran, dan jawabannya cukup menarik.

Setiap ulama Syiah Iran yang keturunan sayyid (kayak habaib di Indonesia, yakni mereka yang memiliki garis keturunan langsung kepada Nabi Muhammad), maka warna pakaiannya adalah jubah hitam dan imamah yang juga hitam. Sementara ulama syiah yang non-sayyid, berarti dia ulama, tapi bukan keturunan sayyid, dan karena itu jubahnya lebih sering warna coklat (sesekali hitam), dan imamahnya selalu warna putih. Artinya, Hashemi Rafsanjani adalah ulama Syiah yang bukan keturunan Nabi.

Kebetulan, saya berdomisili di Kairo selama sebagian besar periode kepresidenan Hashemi Rafsanjani di Iran (1989 – 1997). Ketika itu belum ada handphone dan media sosial. Dan kami mahasiswa mengikuti dinamika politik Iran umumnya melalui media cetak. Dan kesan saya waktu itu, Rafsanjani adalah figur yang mampu bermain cantik setiap kali merespons berbagai dinamika politik di kancah politik regional Timur Tengah.

Salah satu yang membuat saya terkagum-kagum pada kepemimpinannya, adalah ketika terjadi Invasi Irak ke Kuwait pada 1991. Dengan kepiawaian politik Syiah, Rafsanjani mampu membawa Iran, nyaris tidak terlibat dalam isu invasi Kuwait. Tidak terlibat dalam pasukan koalisi yang dipimpin Amerika Serikat, tidak juga mendukung Rezim Saddam Hussein di Baghdad, dan tidak ikut-ikutan dalam koalisi-koalisi regional seperti yang dilakukan oleh Mesir dan Saudi Arabia. Ketika akhirnya Kuwait dibebaskan, Iran diposisikan sebagai negara pemenang perang tanpa satu pun peluru yang ditembakkan dari dan ke tanah Iran. Rafsanjani mampu membawa Iran tetap menjaga jarak dengan rentang yang sama dengan dan terhadap semua pihak yang terlibat dalam kasus invasi Kuwait. Padahal secara geografis dan sejarah serta kepentingan, Iran mestinya menjadi pemain utama dalam kasus Invasi Kuwait.

Keseimbangan memainkan ritme politik seperti ini, di wilayah regional yang tak pernah sepi dari konflik bersenjata, hanya mampu dilakukan oleh politisi sekelas Rafsanjani yang memiliki dan memenuhi semua syarat maksimal: ilmuawan di bidang agama, politisi kaliber bervisi di tingkat regional dan internasional, serta karakter personal yang tidak pernah meledak-ledak.

Syarifuddin Abdullah | Rabu, 11 Januari 2017 /  13 Rabiul Tsani 1438H

Sumber foto

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun