Dengan mengadoposi gaya pergerakan Hanbaliyah, Rizieq nyaris tidak pernah bentrok dengan Muhammadiyah, dan jarang sekali terjadi konflik terbuka antara FPI dan kelompok-kelompok radikal. Dengan mengacu pada praktek fikhinya pula, FPI sering dikategorikan sama dengan jaringan kelompok radikal di Indonesia, meski FPI menegaskan berseberangan dengan pejuang Islamic State dan selalu berseberangan dengan kelompok yang dimotori misalnya oleh Abu Bakar Ba’asyir atau Aman Abdurrahman.
Kesimpulannya: melalui berbagai latar belakang keilmuan dan pergerakan, juga sejarah dan latar belakang pendidikan dan pengalamannya, dalam diri Habieb Rizieq bercampur baur sejumlah doktrin yang normalnya tidak pernah bersenyawa: doktrin habib, fiki syafii’ dan ideologi Asy’ariyah, dengan ideologi pergerakan Hanbali yang mengalir lewat Ibnu Taimiyah dan Wahhabisme.
Jangan-jangan, mungkin karena sejumlah paradoks itulah sehingga sepak terjang Habib Rizieq juga terkesan zig-zag. Dan sejujurnya, sejak didirikan tahun 1998, FPI telah menjadi salah satu ikon pergerakan Islam, yang memiliki stamina bermanuver pada level nasional, nyaris tanpa jeda, dan ibarat mobil, selalu langsung menggunakan gigi-empat dan lima. Tidak pernah ada Ormas Islam bentrok fisik dengan kelompok preman, tapi FPI pernah melakukannya dalam kasus Ketapang Jakarta tahun 1998.
Dan jika mencermati taktik dan manuver FPI dalam kasus dugaan penistaan oleh Ahok, kesimpulannya cuma satu: FPI semakin piawai memainkan ritme. Terlepas apapun sikap kita terhadap FPI, buat saya itu sungguh memukau. Ceritanya begini:
Ketika rekaman pidato Ahok beredar massif di Youtube pada 5 Oktober 2016, FPI langsung tancap gas, melakukan manuver taktis dengan cara mendesak MUI agar mengeluarkan pernyataan sikap terhadap rekaman Ahok. Pernyataan MUI itu (11 Oktober 2016), yang kemudian menjadi acuan pembentukan organisasi taktis, bernama Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI (GNPF-MUI). Karena sejak semula dia penggerak awalnya, GNPF tetap dipimpin Habib Rizieq. Empat hari kemudian, FPI menggelar ABI-I pada 14 Oktober 2016 dengan mengedepankan nama GNPF-MUI.
Karena respon pemerintah dianggap kurang cekatan, Habib Rizieq mulai memobilisasi massa untuk ABI-II, 411, dengan menggunakan organisasi taktis (GNPF) sebagai payung mobilisasi massa, tetapi kendalinya tetap di tangan Habib Rizieq. Kalau Habib Rizieq ingin melibatkan elemen Ormas Islam lainnya dengan mengatas-namankan FPI, mungkin kurang elok, dan boleh jadi akan menghadapi resistensi dari sejumlah Ormas Islam.
Melalui payung GNPF itulah, Rizieq atau FPI mengusung dua tema sekaligus: menyerang dugaan kasus penistaan Ahok, dan sekaligus mengawal dan menyelamatkan airmuka MUI. Melalui dua  poin inilah, Rizieq seolah bilang: jika kalian tidak mau bergabung dengan FPI, minimal bergabunglah untuk mengawal dan menyelamatkan airmuka MUI dalam kaitannya dengan penistaan Ahok. Dan itulah yang terjadi pada ABI-II, 411. Itu pula sebabnya hampir semua pihak meleset dalam memprediksi jumlah massa ABI-II, 411.
Dan apapun penilaian kita terhadap keputusan Gelar Perkara Polri yang menetapkan Ahok sebagai tersangka, bayang-bayang Habib Rizieq cukup jelas. Dan bayang-bayang itu tampaknya masih akan berlanjut ke ABI-III. Dan suka tidak suka, selama satu bulan terakhir, GNPF sukses menggiring semua Ormas Islam yang besar sekalipun, terkesan seolah terpaksa mengikuti ritme yang dimainkan Habib Rizieq.
Syarifuddin Abdullah | Kamis, 17 Nopember 2016 / Â 17 Safar 1438H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H