Suka tidak suka, Ahok adalah figur sentral dalam proses dan dinamika politik nasional menjelang Pilgub DKI. Dan keterpojokan Ahok akibat pernyataan Al-Maidah 51, mungkin tidak akan njlimet semrawut seperti saat ini, seandainya Ahok katakanlah memiliki investasi sosial, yang setara Gus Dur. Ketersudutan itu semakin menjadi-jadi, karena pendukung Ahok keliru membangun logika pembelaan.
PDIP yang semestinya menjadi penopang garda depan untuk Ahok, secara resmi belum pernah memberikan pernyataan dukungan terbuka kepada Ahok. Orang bisa bilang, PDIP dan jajarannya pasti melakukan kasak-kusuk di relung-relung koridor antara Imam Bonjol – Istana – Bareskrim. Tapi ini wacana publik, bung. Gerakan Kebhinnekaan yang dimotori beberapa fungsionaris PDIP, menurut saya sudah telat. Ibarat naik kereta, sudah tertinggal beberapa titik stasiun. Dan harus diingat, tidak ada istilah menyalip di rel kereta.
Kembali ke soal pembelaan, wacana pembelaan yang dibangun oleh pendukung Ahok cenderung membangun logika bumerang dan/atau mengulang-ulang logika klise dengan tema akbar, yang betapapun pentingnya, tetap saja hanya ampuh dalam situasi normal seperti kebhinnekaan, kemajemukan dan toleransi.
Wacana pembelaan pendukung Ahok yang paling fatal adalah argumentasi yang coba membangun argumen bahwa pernyataan Ahok bukan penistaan, sebab yang dimaksud adalah “Jangan mau dibohongi PAKE Surat Al-Maidah 51”. Berkutat pada argumentasi “Pake” dan “tidak pake” akhirnya seperti kita ketahui, telah menjadi blunder dan bumerang yang semakin menyudutkan Ahok, dan membuat para pendukung Ahok menjadi kehilangan oritentasi dan tidak memiliki ruang bermanuver.
Jika argumentasi tentang “pake dan tidak pake” itu dilanjutkan, menurut saya, justru bermuatan pesan yang mengarah pada logika anarkis. Sebab para penentang Ahok akhirnya akan menyerang balik dengan menggunakan bangunan logika yang hampir sama, tapi dengan konsekuensi yang lebih fatal, misalnya:
Untuk memelihara keutuhan NKRI, “Jangan mau dibohongi pake pake Wawasan Nusantara”.
Untuk mendukung dan memilih Ahok pada Pilgub DKI 2017, “Jangan mau dibohongi pake gagasan kemajemukan dan toleransi”.
Yang paling dikhawatirkan bila kemudian muncul argumen tandingan yang mengatakan, bahwa untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, “Jangan mau dibohongi pake Pancasila dan Konstitusi 1945”. Ini kan menjadi super repot.
Karena itu, menurut saya, “bola panas Ahok” telah telah memasuki tahapan “point of no return”. Ibarat perjalanan kereta api, lokomotif gerbong sudah tiba pada stasiun sebelum stasiun terakhir. Dan sialnya, titik stasiun sebelum stasiun tujuan akhir itu adalah Bareskrim, Polri. Sungguh Kapolri Tito Karnavian berada pada posisi “pusing sembilan keliling”. Sebab apapun keputusan akhir dari gelar perkara, bola panas Ahok bisa menggelinding ke mana-mana.
Dan sungguh naif bila kita berasumsi atau memposisikan proses gelar perkara kasus Ahok di Bareskrim semata persoalan hukum. Itu proses politik, secara par excellant. Tidak bisa lagi diposisikan semata persoalan pasal-pasal hukum KHUP. Dan itu yang saya maksudkan ketika merumuskan judul artikel ini: “Untuk Negara, Jangan Coba-Coba Membangun Logika Bumerang”.
Syarifuddin Abdullah | Ahad, 13 Nopember 2016 / 13 Safar 1438H