Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Penjelasan Pramono Anung Tersirat Mengakui Kesalahan

5 November 2016   18:44 Diperbarui: 5 November 2016   19:00 1386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika seseorang merasa perlu menjelaskan untuk sesuatu yang tidak perlu dijelaskan, maka penjelasan itu akan diposisikan sebagai pengakuan bersalah.

Kira-kira seperti itulah makna penjelasan Seskab Pramono Anung ketika mengatakan, setelah melakukan kunjungan kerja ke Bandara Cengkareng, sebenarnya Presiden mau kembali ke Istana. Tapi karena semua jalan tertutup oleh massa pengunjuk rasa, Paspampres merekomendasikan untuk menunda kepulangan ke Istana.

Sejujurnya, itu pernyataan kesalahan, biasa disebut justifikasi. Dan semakin salah karena pernyataannya diwakilkan kepada orang lain.

Semua orang tahu, untuk pergerakan seorang presiden, apalagi kembali ke Istana, pasti memiliki SOP yang baku. Maka seorang warga, melalui wawancara interaktif dengan sebuah radio swasta, dengan cerdas meringkas kesalahan itu: “kenapa gak pake helikopter saja pulang ke Istana”. Lalu ditimpali seorang pendengar lain: “Sudah tahu ada demo besar, mestinya ada pertimbangan skala prioritas agenda mana yang perlu, kurang perlu dan tidak perlu”.

Jika soal keamanan yang jadi pertimbangan, blusukan yang tidak diagendakan sebelumnya jauh lebih berbahaya.

Dan kesalahan yang tidak perlu itu harus dibayar mahal. Sebab penjelasan “tidak rasional” tentang tidak adanya penampakan Presiden di Istana, ketika puluhan ribu pengunjuk rasa yang datang untuk menemuinya dan meminta komitmen kerakyatannya, telah membuka peluang olok-olok di media sosial.

Olok-olok yang tadinya sederhana dan sebagian bisa memahami, akhirnya menjadi bola liar, menggelinding bebas dan munculllah beragam sindirian: “Ah, pahlawan kesiangan”; “bimbang mengambil keputusan yang tegas untuk sesuatu yang sudah jelas”; “Yang meraih kredit poin akhirnya JK” dst, dst.

Perkiraan saya, akan lain ceritanya, seandainya pidato larut malam itu (jam 23.05), disampaikan misalnya jam 15.00, ketika orasi pengunjuk rasa mencapai puncaknya.

Karena disampaikan lewat siaran langsung, tengah malam pula, dengan pakaian berjaket, didampingi para pejabat bidang keamanan, tak bisa ditafsirkan lain kecuali: Presiden mengirim pesan “darurat dan ketegangan”.

Artinya, terkesan Presiden memberikan pernyataan setelah terpojok. Sebab inti pidatonya yang berdurasi sekitar empat menit itu, tidak berbeda dengan substansi pernyataan yang disampaikan oleh Wapres JK beberapa jam sebelumnya, yang kemudian dijelaskan oleh Menko Polhukam dan Menteri Agama. Substansi pidato itulah yang menjadi tuntutan pengunjuk rasa.

Mengelola psikologi massa lebih ke soal rasa. Dan memang tidak gampang. Dan keliru besar jika ada yang berasumsi bisa membohongi “rasa publik”. Tapi setiap kesalahan yang dimaknai akan berujung pada kematangan cerdas.

Syarifuddin Abdullah | Sabtu, 05 Nopember 2016 / 05 Safar 1438H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun