Moderator: Meskipun kekuatan parpol tidak bisa diabaikan, namun ada satu variabel kunci yang sering sengaja diabaikan oleh pengamat: bahwa Pilgub DKI lebih sebagai pertarungan tokoh (pasangan calon), dibanding sebagai pertarungan parpol.
Karena itu, kemenangan dan kekalahan pasangan calon tidak bisa hanya mengacu pada jumlah parpol yang tergabung dalam kubu koalisi pengusung. Sebab pasangan yang memiliki ketokohan yang kuat, bisa saja mengalahkan pasangan yang ketokohannya tidak kuat meskipun didukung banyak banyak parpol.
Pro Anies–Sandiaga: pengalaman Pilgub DKI pada 8 Agustus 2008, ketika PKS bertarung sendirian dengan mencalonkan Adang Daradjatun – Dani Anwar melawan koalisi 20 parpol yang menjagokan Fauzi Bowo – Prijanto. Hasilnya jelas, jagoan PKS meraih 1.535.555 suara (42,13%), sementara jagoan koalisi 20 parpol mememperoleh 2.109.511 suara (57,87%). Margin perbedaan sampai 15 persen dapat dikategorikan kalah telak.
Pro Ahok–Djarot: hipotesa Pak moderator itu ada benarnya. Tapi ketokohan dan parpol adalah dua sisi mata uang, yang saling bergantung.
Pro Agus–Sylviana: Meski secara undang-undang dimungkinkan pasangan calon maju sebagai calon independen, tapi pertaruhannya terlalu tinggi. Kami tidak punya data tentang berapa calon independen yang memenangkan Pilkada di Indonsia. Kalaupun ada, jumlahnya mungkin sangat sedikit.
Pro Ahok–Djarot: Kalau ada tokoh yang pede maju sebagai calon independen, lantas dipinang oleh parpol tertentu, maka dukungan parpol itu – sejatinya – akan meringkas separuh perjalanan bagi calon independen yang pede tersebut.
Pro Anies–Sandiaga: Selain itu, setiap Pilkada tidak selesai dengan pengumuman pemenang oleh KPUD. Pilkada adalah proses awal dari perjalanan lima tahunan. Seorang calon independen yang sukses memenangkan Pilkada, pada akhirnya tetap akan terpaksa atau lebih tepatnya dipaksa bekerjasama dengan parpol ketika seorang Gubernur terpilih berhadapan dengan DPRD.
Pro Agus–Sylviana: Meski hubungan calon dan parpol sering berlangsung sangat kompleks, penuh intrik dan kadang harus berdarah-darah dulu, tapi tidak ada alternatif yang lebih bagus bagi seorang calon kecuali harus bekerjasama dengan parpol. Ketokohan tidak mungkin bisa meremehkan jaringan parpol. Apalagi untuk wilayah seperti DKI.
Moderator: kesimpulannya, hubungan ketokohan calon dengan parpol adalah – sekali lagi – ibarat dua sisi mata uang. Interdependensi. Dan... Sampai ketemu pada dialog berikutnya.
(BERSAMBUNG)
Syarifuddin Abdullah | Ahad, 02 Oktober 2016 / Â 01 Muharram 1438H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H