Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sang Pangeran dalam Pilgub DKI 2017: “The Prince of Machiavelli”

26 September 2016   11:04 Diperbarui: 26 September 2016   11:29 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika mencermati kasak-kusuk proses rekrutmen pasangan Cagub-Cawagub Pilkada DKI menjelang deadline pendaftaran pasangan calon di KPUD pada 23 September 2016, tiba-tiba saya merasakan bahwa prinsip-prinsip perebutan kekuasaan, yang pernah dirumuskan oleh Niccolo Machiavelli (1469-1527), mulai akhir abad ke-15 sampai awal abad ke-16 di Italia, sepertinya hadir di depan mata. Dan yang luar biasa, sebagian besar detail praktek politik kita di abad ke-21 nyaris persis dengan rumusan kalimatnya Machiavelli.

“… There are two ways of contesting, the one by the law, the other by force; the first method is proper to men, the second to beasts; but because the first is frequently not sufficient, it is necessary to have recourse to the second. Therefore it is necessary for a prince to understand how to avail himself of the beast and the man” (Machiavelli,The Prince [edisi digital edition, translated by W. K. Marriott], Chapter XVIII: Concerning the Way in Which Princes Should Keep Faith).

(Bahwa terdapat dua cara dalam perebutan kekuasaan, pertama melalui hukum/undang-undang, kedua melalui kekuatan. Cara pertama cocok untuk manusia, cara kedua cocok untuk binatang buas. Tapi karena cara pertama sering tidak cukup, maka perlu menempuh cara kedua. Karena itu, seorang pangeran perlu memahami bagaimana memposisikan dirinya sebagai binatang buas sekaligus sebagai manusia”).

Hanya mengandalkan salah satu dari metode itu tidak akan bertahan lama. Dan ketika seorang politisi sudah berperilaku seperti binantang buas, masih terdapat dua alternatif: menjadi seperti singa atau kancil. Sebab singa tak mampu melindungi dirinya dari perangkap, dan kancil tak mampu melindungi dirinya dari terkaman serigala.

Maka, perlu menjadi kancil untuk mencari tahu letak perangkap, sekaligus menjadi singa untuk menakut-nakuti serigala (A Prince , therefore, being compelled knowingly to adpot the beast, ought to choose the fox and the lion; because the lion cannot defend himself against snares and the fox cannot defend himself against wolves. Therefore, it is necessary to be a fox to discover the snares and a lion to terrify the volves).

Maka, biar tidak terkaget-kaget oleh fenomena dan praktek akal licik politik dan politisi pada setiap Pemilu, tingkat nasional ataupun lokal (gubernur, bupati/walikota), mungkin sebaiknya kita membaca ulang buku “The Prince”, salah satu karya legendaris Niccolo Machiavelli.

Syarifuddin Abdullah | Senin, 26 September 2016 / 24 Dzulhijjah 1437H.

Sumber foto: Screen shot dari aplikasi iBook, Apple.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun