Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilgub DKI 2017 dan Karakter Kekuasaan

22 September 2016   22:49 Diperbarui: 22 September 2016   23:16 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namun, terkait soal faktor agama yang dianut oleh seorang kandidat, dalam Pilgub DKI 2017, adalah faktor pemaksa yang tidak memiliki pengaruh besar. Saya pernah membahas soal ini pada 30 April 2016 melalui artikel yang berjudul “Isu Agama dalam Pemilu: Nggak Nendang, Bung”, (Lihat).

Dan faktor pemaksa yang ketiga adalah soal ras, yang di Indonesia lebih populer dengan istilah suku, yang identik dengan kewilayahan (daerah asal). Dan pada umumnya, keterikatan setiap orang dengan sukunya jauh lebih intens dibanding faktor agama dan uang. Minimal, faktor suku lebih dulu ada. Bisa disebut sangat primordial. Sebab setiap bayi yang lahir sudah dapat diidentifikasi sukunya, sebelum dia menentukan agama dan tentu saja belum punya duit.

Ketika pemilih diminta untuk mengenyampingkan faktor ras dan sukunya dalam sebuah pemilu, justru ini permintaan yang tidak rasional. Dan secara kebetulan, ketika menulis artikel ini, berbagai stasiun televisi global sedang menayangkan langsung kerusuhan di Charlotte, North Carolina, yang dipicu oleh penembakan terhadap warga kulit hitam oleh seorang polisi. Sebuah kerusuhan yang dipicu oleh empati terhadap satu ras, dan pelaku kerusuhan itu ujung-ujungnya akhirnya juga ikut menjadi rasis.

Maka, karakter dasar kekuasaan yang memaksa tersebut, kemudian tiga faktor pemaksa yang dominan dalam setiap pemilu (uang, agama dan suku), adalah sesuatu yang normal banget. Kita hanya perlu mengelolanya.

Sebab setiap kandidat – dan juga pemilih – bisa sangat materialistis atau matre karena faktor duit; mungkin menjadi amat rasis, karena faktor suku dan kabilahnya; dan barangkali menjadi amat puritan karena faktor keyakinan agamanya. Kalau mau diatur melalui peraturan dan perundang-undangan, silahkan saja, namun jangan mencoba menegasikanya.

Ketika saya mendengar pidato atau membaca artikel yang rasis atau matre atau puritan tentang Pilgub DKI, biasa aja, tuh. Nggak ngaruh. Sebab saya yakin bahwa sebuah artikel – atau bahkan buku sekalipun – tidak akan berpengaruh besar dalam mengarahkan pilihan seseorang pada sebuah pemilu.

Saya malah curiga, seseorang yang menjadi sangat emosional ketika mendengar pidato atau membaca artikel yang rasis atau matre atau puritan tentang Pilgub DKI, justru menunjukkan bahwa pembaca itu mengidentifikasi dirinya dengan salah satu faktor pemaksa tersebut.

Syarifuddin Abdullah | Kamis, 23 September 2016 / 19 Dzul Hijjah 1437H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun