Beberapa pertempuran dalam sejarah Islam juga terjadi di Raqqah, antara lain Perang Shiffin antara pasukan Ali bin Abu Thalib dan pasukan Muawiyah. Karena itulah di Raqqah terdapat makam dua sahabat nabi pendukung Ali bin Abu Thalib: Ammar bin Yaser dan Uways al-Qarni.
Pada tahun 639 atau 640, kota itu dikuasai oleh penakluk Muslim Iyad bin Ghanim, dan sejak itu sampai kini, kota itu kembali berganti nama menjadi Ar-Raqqah atau Raqqah, yang berarti batu yang diratakan (الصخرة المسطحة).
Di era Harun Al-Rasyid, seorang khalifah populer dari Dinasti Abbasiyah – yang berpusat di Baghdad – Raqqah pernah menjadi kota musim panas untuk sang Khalifah. Kemudian Khalifah Al-Mansur – penerus Harun Al-Rasyid – membangun kota baru bernama Rafiqah, yang kemudian menyatu dengan Raqqah, dan sebuah istana yang dinamai Istana Wanita (قَصْرُ الْبَنَاتِ), entah kenapa istana itu disebut Istana Wanita.
Selama periode sejarah yang berlangsung lebih dari 2.300 tahun (sejak tahun 301 Sebelum Masehi sampai tahun 2016), kota tua yang kini bernama Raqqah itu telah berulang-ulang menjadi lokasi pertempuran yang berujung pada kehancuran infrastruktur kota. Dan sejak 2014, Raqqah kembali mengulang sejarah itu: bangunan dan infrasturktur kota hancur, warganya mengungsi, sendi-sendi kehidupan porak-poranda, yang menetap terpaksa setiap hari harus siap menghadapi dentuman senjata IS dan/atau dibombardir oleh pasukan Koalisi yang memerangi IS.
Sejarah jatuh-bangun itu berulang berkali-kali. Raqqah seolah ditakdirkan menjadi kota untuk membuktikan konsep l'histoire se répète (sejarah mengulang dirinya sendiri).
Syarifuddin Abdullah | Rabu, 14 September 2016 / 12 Dzul Hijjah 1437H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H