Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Konflik Libya (3): Tidak Cukup Seksi untuk Diintervensi

9 September 2016   17:29 Diperbarui: 9 September 2016   18:23 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika dibandingkan dengan konflik Suriah dan Irak, konflik di Libya memang tidak cukup seksi untuk diintervensi dengan kekuatan penuh. Karena itulah, keseriusan kekuatan regional dan global untuk terlibat langsung dalam konflik Libya tidak sebesar keseriusan mereka ketika mengintervensi konflik Suriah atau Irak. Dan itu ada alasan-alasannya.

Dengan pandangan sekilas ke peta Afrika Utara (lihat peta ilustrasi), akan segera tampak bahwa posisi geografis Libya – termasuk Tunisia dan Aljazair – memang tidak memiliki local genius yang signifikan. Libya relatif terisolasi secara geografis.

Libya bukan titik transit yang ideal untuk lalu lintas maritime di Laut Tengah (Mediterrania). Dan sepanjang sejarah petualangan teritorial, Libya juga tidak pernah tercatat menjadi perlintasan darat utama, yang dilewati tim-tim ekspedisi darat dari pantai timur Afrika ke pantai barat Afrika. Kecuali mungkin catatan pengembara Arab, Ibnu Battutah.

Secara militer, posisi Libya tangggung untuk dijadikan starting poin untuk melebarkan sayap pengaruh kekuasaan di Afrika Utara.

Kalau digambarkan secara ekstrim: jika terjadi pertempuran habis-habisan dan kekacauan total antar sesama warga Libya dan sebagian besar warganya tewas, jalur maritim di Laut Mediterrania tidak akan terganggu. Bahkan negara-negara tetangganya pun tidak terlalu terusik.

Secara regional, kekacauan Libya, betapapun brutalnya, nyaris tidak punya dampak regional. Sebab tidak ada kepentingan perdagangan regional dan global yang terganggu meskipun bobot kekacauan di Libya tidak kalah dengan bobot kekacauan di Suriah dan Irak.

Belakangan Eropa Barat memang “terpaksa” peduli dengan konflik Libya, setelah diketahui bahwa gelombang imigran perahu dari Afrika ke Eropa, sebagian besar besar bertolak dari pantai Libya.

Bandingkan misalnya bila kekacauan itu terjadi di Mesir, hampir dipastikan akan berpengaruh signifikan terhadap lalu lintas maritim di Mediterrania, Laut Merah dan Terusan Suez. Itulah sebabnya setiap konflik yang terjadi di Mesir selalu mengundang perhatian internasional, dan semua pihak merasa berkepentingan untuk terlibat.

Dengan bobot strategis yang lebih rendah dibanding Mesir, lalu lintas maritim di Laut Mediterrania juga bisa terganggu bila Maroko mengalami chaos. Karena di Selat Gibraltar, posisi geografis bagian utara Maroko ibaratnya seperti “bibir bawah (selatan)” dari mulut Mediterrania menuju dan/atau dari Samudra Atlantik. Bibir atasnya adalah Spanyol.

Posisi penting Libya – yang berpenduduk sekitar 6,2 juta jiwa – terhadap geopolitik dan keamanan regional, salah satunya karena Libya termasuk negara kaya minyak. Namun sebagian besar sumur minyak di Libya berada di lepas pantai, dan karena itu tidak terpengaruh secara signifikan oleh kekacauan dan pertempuran di daratan Libya. Saat ini, ketika Libya terkoyak-koyak di hampir semua lini, produksi minyak Libya terutama yang di lepas pantai nyaris tidak terpengaruh.

Secara militer, di sepanjang garis pantai utara Libya – yang memanjang dari timur ke barat sejauh sekitar 1.800 km – tidak ada satu pun titik yang pernah “dilirik” untuk dijadikan pangkalan militer oleh negara-negara Super Power ataupun kekuatan regional.

Jangan heran, negara-negara regional yang merasa terusik oleh konflik di Libya hanya negara-negara tetangganya saja: Mesir, Sudan, Chad, Niger, Aljazair, Tunisia. Memang ada beberapa Negara Arab seperti Qatar dan Uni Arab Emirates (UAE) yang mencoba bermain di Libya. Tapi semuanya akhirnya mencantolkan diri dengan negara-negara tetangga langsung Libya.

Di bidang industri, kita tidak mengenal adanya produk unggulan Libya yang popular secara regional ataupun berskala global. Bahkan barang yang bersifat souvenir pun, Libya tak punya. Libya juga belum pernah menjadi salah satu obyek tujuan wisata regional, apalagi internasional.

Dari segi kebudayaan dan intelektual, setahu saya, tidak ada pemikir-pemikir modern Libya yang punya pengaruh regional apalagi internasional, katakanlah sekelas Muhomad Hassanain Heikal asal Mesir.

Di bidang pemikiran keagamaan, tidak ada ulama Libya yang setara Yusuf Al-Qardhwai asal Mesir atau Wahbah Zuhaily dan Muhammad Ramadhan Al-Bouti asal Suriah. Libya juga tidak punya perguruan sekelas Al-Qurawiyyun di Maroko dan Al-Azhar di Mesir.

Di ranah pemikiran keagamaan sekuler, tidak ada sekularis Libya yang menyamai level Farag Foudah dan Muhammad Al-Ashmawi asal Mesir atau sekularis Mohammed Arkoun dari Aljazair.

Tapi selalu ada pengecualian. Wilayah Libya pernah melahirkan seorang ahli bahasa yang hingga saat ini masih fenomenal. Namanya Ibnu Manzhur (1232-1311M atau 630-711H), penulis kamus klasik Bahasa Arab, Lisanul Arab (لسان العرب), yang sejak dulu sampai sekarang, menjadi rujukan utama hampir semua peneliti ulama Islam terkait penjelasan kosa kata Bahasa Arab. Ibnu Manzhur adalah kelahiran Ajdabiya, Libya. Kota ini cukup dekat dengan perbatasan Mesir. Karena itu, sebagian literatur menyebutkan Ibnu Manzhur kelahiran Mesir, sebab ketika itu belum ada perbatasan negara seperti saat ini.

Qaddafi tampaknya memahami betul posisi local genius Libya yang tanggung itu. Karena itu, Qaddafi mencoba mendongkrak pamor dan pengaruh Libya dengan melibatkan diri dalam berbagai konflik regional di berbagai belahan bumi: Mindanao di Filipina, Pattani di Thailand Selatan, mendanai gerakan-gerakan pemberontak di Amerika Latin. Atau melatih anggota organisasi-organisasi teroris. Bahkan konon pernah menjalin komunikasi dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Indonesia.

Merujuk pada kondisi faktual Libya dilihat dari berbagai bidang tersebut, kita tidak bisa berharap kekuatan global dan regional akan serius terlibat menyelesaikan konflik Libya, seperti yang dilakukan di Suriah atau Irak. Sebab, sekali lagi, Libya tidak cukup seksi untuk diintervensi dengan kekuatan maksimal.

Gambaran ekstremnya, ketika merespon konflik Libya, negara-negara yang mewakili kekuatan global dan regional barangkali akan mengatakan begini: forget it! Biarkan konflik itu terselesaikan dengan sendirinya, ketika para pihak yang berkonflik sudah bosan saling membunuh.

Syarifuddin Abdullah | Jumat, 09 September 2016 / 07 Dzul Hijjah 1437H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun