Jangan heran, negara-negara regional yang merasa terusik oleh konflik di Libya hanya negara-negara tetangganya saja: Mesir, Sudan, Chad, Niger, Aljazair, Tunisia. Memang ada beberapa Negara Arab seperti Qatar dan Uni Arab Emirates (UAE) yang mencoba bermain di Libya. Tapi semuanya akhirnya mencantolkan diri dengan negara-negara tetangga langsung Libya.
Di bidang industri, kita tidak mengenal adanya produk unggulan Libya yang popular secara regional ataupun berskala global. Bahkan barang yang bersifat souvenir pun, Libya tak punya. Libya juga belum pernah menjadi salah satu obyek tujuan wisata regional, apalagi internasional.
Dari segi kebudayaan dan intelektual, setahu saya, tidak ada pemikir-pemikir modern Libya yang punya pengaruh regional apalagi internasional, katakanlah sekelas Muhomad Hassanain Heikal asal Mesir.
Di bidang pemikiran keagamaan, tidak ada ulama Libya yang setara Yusuf Al-Qardhwai asal Mesir atau Wahbah Zuhaily dan Muhammad Ramadhan Al-Bouti asal Suriah. Libya juga tidak punya perguruan sekelas Al-Qurawiyyun di Maroko dan Al-Azhar di Mesir.
Di ranah pemikiran keagamaan sekuler, tidak ada sekularis Libya yang menyamai level Farag Foudah dan Muhammad Al-Ashmawi asal Mesir atau sekularis Mohammed Arkoun dari Aljazair.
Tapi selalu ada pengecualian. Wilayah Libya pernah melahirkan seorang ahli bahasa yang hingga saat ini masih fenomenal. Namanya Ibnu Manzhur (1232-1311M atau 630-711H), penulis kamus klasik Bahasa Arab, Lisanul Arab (لسان العرب), yang sejak dulu sampai sekarang, menjadi rujukan utama hampir semua peneliti ulama Islam terkait penjelasan kosa kata Bahasa Arab. Ibnu Manzhur adalah kelahiran Ajdabiya, Libya. Kota ini cukup dekat dengan perbatasan Mesir. Karena itu, sebagian literatur menyebutkan Ibnu Manzhur kelahiran Mesir, sebab ketika itu belum ada perbatasan negara seperti saat ini.
Qaddafi tampaknya memahami betul posisi local genius Libya yang tanggung itu. Karena itu, Qaddafi mencoba mendongkrak pamor dan pengaruh Libya dengan melibatkan diri dalam berbagai konflik regional di berbagai belahan bumi: Mindanao di Filipina, Pattani di Thailand Selatan, mendanai gerakan-gerakan pemberontak di Amerika Latin. Atau melatih anggota organisasi-organisasi teroris. Bahkan konon pernah menjalin komunikasi dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Indonesia.
Merujuk pada kondisi faktual Libya dilihat dari berbagai bidang tersebut, kita tidak bisa berharap kekuatan global dan regional akan serius terlibat menyelesaikan konflik Libya, seperti yang dilakukan di Suriah atau Irak. Sebab, sekali lagi, Libya tidak cukup seksi untuk diintervensi dengan kekuatan maksimal.
Gambaran ekstremnya, ketika merespon konflik Libya, negara-negara yang mewakili kekuatan global dan regional barangkali akan mengatakan begini: forget it! Biarkan konflik itu terselesaikan dengan sendirinya, ketika para pihak yang berkonflik sudah bosan saling membunuh.
Syarifuddin Abdullah | Jumat, 09 September 2016 / 07 Dzul Hijjah 1437H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H