Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Konflik Libya (2): Satu Negara dengan Dua Pemerintahan

9 September 2016   01:28 Diperbarui: 9 September 2016   09:17 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Konflik internal yang sejak 2011 mengoyak-ngoyak hampir semua lini kehidupan di Libya – politik, militer dan sosial – jauh lebih kompleks daripada sekedar polarisasi dua kubu besar yang bersiteru.

Konflik berdarah-darah itu bukan hanya melanda kota-kota pantai di utara Libya, yang membentang sepanjang sekitar 1.800 km dari barat ke timur (lihat peta), tapi juga di wilayah padang pasir di bagian tengah dan selatan. Meski secara historis, kehidupan di Libya sebenarnya lebih terkonsentrasi di sepanjang pesisir utara.

Polarisasi politik dan militer

Paska jatuhnya Qaddafi, secara de facto, Libya terpecah menjadi dua kubu utama, yaitu pemerintahan Dawn Libya yang bermarkas di Tripoli dan satunya lagi Pemerintahan Al-Karamah yang bermarkas di Tobruk. Semua lini kehidupan lainnya akhirnya mengekor ke polarisasi dua kubu tersebut.

Kota Tobrouk, yang terletak di wilayah timur dekat perbatasan Mesir, menjadi basis pemerintahan Al-Karamah (kemuliaan), yang memiliki parlemennya sendiri serta pasukan militer yang dipimpin Khalifah Hefter. Kubu Al-Karamah ini diklaim lebih berorientasi nasionalis, sebagian besar tokoh-tokohnya dari kelompok liberal.

Sementara sebagian besar wilayah barat, termasuk ibukota Tripoli, dikontrol oleh pemerintahan Dawn Libya (Fajar Libya), yang juga punya parlemennya sendiri, dan secara militer dikendalikan oleh pasukan di bawah komando Dewan Revolusi yang pro Dawn Libya, yang sering diposisikan kelompok yang lebih berorientasi agamis.

Kantor-kantor perwakilan Libya di luar negeri, juga mengalami polarisasi dua kubu. Sebagian kedutaan berkiblat ke Pemerintahan Dawn Libya, sebagian lainnya menerima perintah dari Pemerintahan Al-Karamah. Bahkan ada beberapa kantor kedutaan Libya, yang pegawainya terpecah dua, sehingga membuat tidak nyaman suasana kerja di kedutaan. Terjadi saling curiga dan saling memata-matai antara sesama diplomat Libya di satu kantor kedutaan.

Di antara dua kubu besar yang berseteru itu, masih ada beberapa faksi yang saling berseteru, sebagian di antaranya dipimpin komandan lapangan yang berperilaku seperti War Lord, namun tetap mengekor ke polarisasi dua kubu besar: Dawn Libya vs Al-Karamah.

Bagian Selatan Dikontrol Kabilah

Di bagian selatan, yang merupakan kawasan padang pasir dan relatif tidak terjangkau oleh pasukan dua kubu yang bersiteru (Dawn Libya vs Al-Karamah), akhirnya menjadi wilayah yang dikontrol oleh milisi-milisi bersenjata yang berbasis kabilah.

Kondisinya semakin runyam karena milisi-milisi yang berbasis kabilah itu akhirnya gontok-gontokan satu sama lain sesuai dengan afeliasinya: kabilah pendukung Dawn Libya berantem dengan kabilah-kabilah yang pro pemerintahan Al-Karamah di Tobruk.

Selain itu, wilayah selatan Libya yang berbatasan dengan Aljazair di bagian barat, Niger dan Chad di bagian selatan, serta Mesir dan Sudan bagian timur juga menjadi jalur penyelundupan senjata dari wilayah Sahara, sekaligus menjadi jalur pavorit penyelundupan manusia dari berbagai negara Afrika di selatan, yang ingin berimigrasi ke Eropa lewat laut Mediterrania.

ISIS Menguasai Derna

Tapi wilayah hotspot di Libya yang paling “sexy” adalah kota pantai Derna, yang terletak di sebelah timur Libya bagian utara, yang menjadi basis para kombatan ISIS (IS Cabang Libya). Anasir ISIS Libya juga sesekali muncul dalam pertempuran di wilayah Misrata, yang terletak sekitar 250 km ke arah timur dari ibukota Tripoli.

Pada tahun-tahun awal periode konflik di Libya, sebagian besar mujahidin dari negara-negara Afrika Utara dan Barat, yang ingin pergi ke Suriah, transit dulu di Libya untuk pelatihan dan mengambil dokumen perjalanan. Sebelumnya kelompok IS Libya berhasil menguasai kantor Imigrasi di Kota Misrata. Mereka lalu membagi-bagikan paspor Libya kepada mujahidin asal Afrika Utara dan Afrika Barat, untuk memudahkan perjalanan ke Suriah, via Turki, dengan memanfaatkan fasilitas bebas visa yang diberikan oleh Turki bagi pemegang paspor Libya. Fasilitas bebas visa ini  sudah berlaku sejak masa Qaddafi. Belakangan, Turki telah mencabut fasilitas bebas visa tersebut bagi pemegang paspor Libya.

Melihat kondisi dalam negeri Libya yang begitu runyam, beberapa kekuatan global dan regional berinisiatif membantu menyelesaikan konflik dengan bersikap netral. Tapi sebagian negara yang awalnya ingin membantu akhirnya ikut berpihak juga, kalau bukan kepada Dawn Libya, ya kubu Al-Karamah.

Namun semangat dan keseriusan kekuatan regional dan global untuk terlibat dalam konflik Libya, tidak sebesar dengan semangat dan keseriusan mereka ketika terlibat dalam konflik Suriah atau Irak. Dan itu ada alasan-alasannya (Bersambung).

Syarifuddin Abdullah | Jumat, 09 September 2016 / 07 Dzul Hijjah 1437H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun