Selama lebih dari lima tahun, sejak Arab Spring melanda Libya pada awal 2011 hingga saat ini, rakyat Libya tidak lagi pernah merasakan kehidupan normal dan kedamaian. Saban hari, di setiap sudut kota, setiap orang harus harus bersikap ekstra waspada untuk mengantisipasi suara tembakan dan/atau dentuman bom. Dan yang lebih miris, belum ada indikator positif yang mengarah pada kemungkinan melihat cahaya perdamaian di ujung terowongan dalam waktu dekat.
Seperti diketahui, Libya mengalami riak gelombang Arab Spring sejak akhir 2010, menyusul gelombang serupa di Tunisia. Protes warga menuntut pengunduran diri Qaddafi memuncak sejak Januari sampai awal Maret 2011. Pada 5 Maret 2011, sejumlah tokoh oposisi membentuk sebuah entitas baru bernama NTC (National Transition Council) dan memproklamirkan diri sebagai perwakilan tunggal rakyat Libya. Tapi Qaddafi tetap tak bergeming.
Pada 23 Agustus 2011, sebuah kelompok milisi yang menyebut dirinya Pasukan Revolusi mengambil alih kediaman Qaddafi. Dan sehari kemudian (24 Agustus 2011), NTC mengumumkan hadiah sebesar 2 juta Dinar Libya bagi siapa pun yang menangkap Khaddafi, hidup atau mati. Pada hari yang sama, sepertinya ingin mengejek hadiah 2 juta Dinar Libya tersebut, Khaddafi mempublikasikan rekaman suaranya, yang antara lain mengatakan bahwa dirinya berkeliling di kota Tripoli dengan topeng.
Sekitar dua bulan lamanya, “Qaddafi menjadi orang jalanan”, berpindah-pindah dari satu titik ke titik lainnya dengan pengawalan para loyalisnya, sampai akhirnya pada 20 Oktober 2011, berbagai media global melaporkan Qaddafi dibunuh di salah satu pipa solokan di Kota Sirte, yang terletak sekitar 450 km ke arah timur Tripoli, ibukota Libya. Bisa dibayangkan, seorang presiden yang pernah sangat powerful menghembuskan napas terakhirnya di solokan. Tragis luar biasa.
Setelah Qaddafi terbunuh, persoalaannya tidak lantas selesai. Tewasnya Qaddafi justru menjadi awal periode krisis multidimensi yang mengoyak-ngoyak Libya, yang belum memperlihatkan tanda-tanda akan berakhir hingga saat ini.
Dan terdapat beberapa pelajaran penting yang dapat disari dari konflik berkepanjangan di Libya, sebagai berikut:
Pertama, pemerintahan yang mengandalkan satu figur kunci, pada akhirnya akan membuat lembaga-lembaga negara menjadi keropos. Setelah Qaddafi turun tahta, tidak ada satu pun lembaga negara di Libya, yang mampu berdiri utuh dan dihormati oleh semuan komponen bangsa Libya. Bahkan institusi militer – yang di negara-negara lain biasanya relatif utuh – institusi militer Libya terkoyak-koyak antara pendukung setia Qaddafi dan pembelot.
Kedua, jangan pernah memilih pemimpin negara yang “rada-rada gila” atau kemaruk kekuasaan. Sebab pemimpin kemaruk kekuasaan seperti itu, akan cenderung memposisikan negara sebagai milik kelompok dan bahkan milik keluarganya.
Ketiga, setiap negara perlu membangun negara kelembagaan, dengan cara memberdayakan semua lembaga negara sebagai institusi yang relatif kuat sesuai porsi dan cakupan otoritasnya. Tujuannya, jika ada satu lembaga yang sangat powerful tumbang, lembaga-lembaga negara lainnya yang relatif kuat, tetap bisa diharapkan menjadi faktor pemersatu bangsa.
Karena tidak ada lembaga negara yang relatif kuat – ketika Qaddafi lengser – beberapa tokoh Libya yang punya niat baik untuk menyelamatkan negara, tidak punya tempat berpijak. Dan konsekuensinya bisa diduga: semua fraksi merasa diri paling benar, dan yang lain harus disingkirkan. Saling curiga antara sesama tokoh tak terhindarkan. Kondisi seperti inilah yang terjadi di Libya, hingga saat ini.
Keempat, ketika semua lembaga negara berguguran satu per satu, bersamaan dengan lengsernya Qaddafi, juga tidak satu pun organisasi non-pemerintah – katakanlah sekelas NU dan Muhammadiyah di Indonesia – yang mampu berdiri di garda depan untuk menyelamatkan negara. Juga tidak terlihat lembaga-lembaga riset dan kajian yang menawarkan gagasan-gagasan segar, minimal sebagai solusi intelektual.