Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pergantian Kepala BIN: Cerdas Menggunakan Hak Prerogatif

4 September 2016   10:37 Diperbarui: 4 September 2016   15:12 955
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap kali terjadi pergantian beberapa pos menteri dan jabatan setingkat menteri, misalnya Kepala BIN, wacana publik tidak akan jauh dari persoalan hitung-hitungan kepentingan parpol dan tokoh parpol, kepentingan tokoh penting di inner-cycle presiden, mungkin kepentingan korporasi tertentu, balas jasa politik, dan tentu saja semua komponen lembaga strategis di negara ini. Dan begitu SK diteken, “pemenang tender” akan berargumen singkat: itu hak prerogatif Presiden yang dijamin konstitusi. Selesaikah? Tidak juga. The party is not over yet.

Namun ketika sebuah SK penunjukkan diteken, hak prerogatif pastilah sudah memperhitungkan semua variabel tadi: hitung-hitungan kepentingan parpol, kepentingan tokoh penting di lingkaran satu presiden dan lembaga kepresidenan, mungkin kepentingan korporasi tertentu, balas jasa politik dan seterusnya.

Untuk jabatan yang memiliki tingkat strategis tinggi terhadap posisi sebuah rezim, seperti halnya kepala lembaga intelijen, saya haqqul-yakin bahwa hak prerogatif itu telah-sedang-dan-akan digunakan oleh seorang Presiden dengan perhitungan cermat dan cerdas. Dan SK yang diteken, sudah dihitung untung ruginya dan segala konsekuensinya. Sebab tidak satupun pilihan figur yang tanpa risiko politik.

Untuk kasus penunjukkan Kepala BIN, berdasarkan UU Intelijen, terdapat tiga hal spesifik yang membuat BIN dan Kepalanya tidak bisa disamakan dengan pos menteri atau kepala lembaga negara setingkat menteri lainnya

Pertama, BIN adalah lembaga negara yang tidak melakukan pelayanan publik secara langsung. BIN tidak bisa disamakan dengan Kementerian Keuangan (pelayanan pajak), Perhubungan (transportasi), Agama (pembinaan keagamaan), Sosial (bantuan). Artinya, Kepala BIN relatif tidak memiliki “risiko publik” secara langsung.

Kedua, konsekuensinya, dari semua jabatan menteri atau setingkat menteri, Kepala BIN adalah the President’s man secara genuine, pembantu presiden secara par excellant. UU Intelijen menegaskan, presiden adalah user (penerima dan pengguna tunggal) seluruh informasi yang disajikan BIN. Memang DPR berhak memberikan pertimbangan atau sesekali mengundang Kepala BIN melakukan hearing untuk meminta keterangan terkait kasus tertentu. Tapi ketika menghadiri dengar pendapat di DPR, Kepala BIN akan membawa kepentingan dan memperjuangkan kebijakan Presiden.

Ketiga, BIN adalah sebuah lembaga dengan mekanisme kerja, struktur organisasi, birokrasi dan etos kerja yang relatif mapan. Seorang Kepala BIN yang baru tidak akan mudah melakukan perubahan radikal terhadap mekanisme, struktur organisasi, birokrasi dan etos kerja tersebut. Karena itu, ruang manuver kebijakan seorang Kepala BIN pada akhirnya akan berujung pada posisinya sebagai the president’s man secara par excelllant.

Karena itu, harus diasumsikan bahwa ketika akhirnya Presiden meneken SK pergantian Kepala BIN, maka itu adalah manifestasi atau penggunaan hak prerogatif secara cerdas. Kecuali jika terbukti tidak.

Dan seandainya pun keputusan pergantian itu terbukti kurang pas, kan hak prerogatif itu masih dapat digunakan lagi.

Syarifuddin Abdullah | Ahad, 04 September 2016 / 02 Dzul Hijjah 1437H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun