Di bumi ini, hanya ada satu titik di mana manusia berkumpul pada waktu bersamaan selama sekitar 6 jam, dalam jumlah sekitar 2 juta orang: ketika jemaah haji wukuf di Arafah, Makkah pada 9 Dzul Hijjah setiap tahun.
Itu saja, Arafah sudah istimewa. Sebab tidak ada satu pun event organizer atau perayaan agama apapun yang mampu memobilisasi massa dalam jumlah yang sangat massif: sekali lagi 2 juta orang.
Padahal, dari segi kontur tanah dan pemandangannya, padang Arafah yang seluas 10,4 km persegi itu, tidak memiliki keistimewaan kasat mata. Sejauh mata memandang, yang terlihat adalah hamparan padang pasir, yang ditingkahi bukit-bukit batu. Sekarang memang terlihat pohon-pohon yang ditanam, tapi daunnya tak pernah bisa rindang.
Secara hukum, periode wakuf itu terhitung sejak matahari tergelincir ke arah barat (sehabis zhuhur) sampai terbenam matahari atau magrib waktu Makkah (bertepatan sekitar jam 16.15 s/d 22.22 WIB).
Di bawah sengatan matahari sekitar 50 derajat celcius (September 2016), kemah berpendingin ruangan pun tetap akan terasa gerah. Setiap orang akan merasa cepat kelelahan. Namun hati diupayakan tetap berzikir khusyu’.
Dengan pakaian ihram warna putih, dari udara akan terlihat seperti hamparan salju. Secara ilmiah, gabungan sekitar dua juta pakaian ihram warna putih, yang berkumpul berdesak-desakan di satu titik itu mestinya mampu menyerap suhu panas.
Tapi, hanya mereka yang meresapi dan memaknai makna wukuf, yang bisa merasakan kesyahduan Arafah.
Ratusan ribu lembar tulisan tentang Padang Arafah, entah sudah berapa anak pena yang dihabiskan oleh para ulama untuk menggambarkan kesyahduan Arafah, mungkin sudah berjuta-juta jam telah digunakan untuk merenungkan Arafah. Tapi rahasia kesyahduan Arafah itu tidak pernah tuntas dikaji.
Dan cara paling sederhana (tapi juga sekaligus cara paling sulit) untuk merasakan kesyahduan Arafah adalah “menghambakan diri secara total” ketika sedang berwukuf. Dan gambaran tentang makna menghambakan diri itu antara lain:
Posisikan kedatanganmu dan kehadiranmu di Arafah semata untuk mentaati perintah Allah: wukuf adalah rukun utama ibadah haji. Jangan menggunakan nalar untuk menemukan kesyahduan Arafah. Gak bakal nyampe.
Tempatkan dirimu pada posisi nihil, sebagai makhluk (yang diciptakan), dan di atas sana ada Zat, Yang Maha Pencipta dan Maha Menentukan.
Jangan membawa-bawa segala atribut yang engkau miliki: jabatan resmi atau tidak resmi, status sosial, harta, prestasi, kesehatan.
Lepaskan segala benci, dengki, iri dan keangkuhan. Mintalah anugerah untuk dapat mencintai dan menyayangi semua makhluk.
Leburkan dirimu dan jiwamu ke dalam lautan keberkahan Arafah. Sebab di Arafah jarak antara “peminta” dan “yang diminta” bisa sangat dekat, tapi juga dapat merentang jarak jauh.
Maka lakukanlah segala zikir dan doa dengan memposisikan diri seperti ketika Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya berwukuf di Arafah.
Serahkan dirimu secara total, biarkan Allah mengambil alih (untuk menentukan) seluruh keinginanmu dan cita-citamu.
Boleh jadi, karena doamu yang ikhlas dan tulus, sehingga seluruh jemaah haji di tahun 2016/1437H ini juga ikut dan terbawa oleh doamu untuk meraih haji mabrur.
Syarifuddin Abdullah | Kamis, 01 September 2016 / 29 Dzul Qa’dah 1437H.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H