“Map is the best way to understand politic” (peta adalah cara terbaik untuk memahami dinamika politik)”. Ungkapan ini ditulis Mohammad Hassanain Heikal, penulis tersohor asal Mesir, ketika mengomentari sebuah buku/kajian tentang geografi yang berjudul “Local Genius (عَبَقَرِيَّةُ الْمَكَانِ)”, 1984, yang juga ditulis oleh seorang intelektual Mesir – jebolan University of Reading, Inggirs – Gamal Hamdan.
Inti kajiannya, bahwa dalam peta geografi, terdapat beberapa titik yang memang genius secara geografis, dan karena itu posisinya menjadi sangat penting bila dibanding dengan titik lain di wilayah sekitarnya. Biasanya, tempat yang memiliki ciri local genius, selalu lebih maju atau paling tidak lebih dulu maju.
Sebagai gambaran, untuk kawasan Asia, posisi Singapura di peta memang sudah genius dari sono-nya. Sebab semua lalu lintas maritim dari/ke Asia Timur harus melewati dan menikung/memutar persis di Singapura, paling ideal menjadi transit. Kalau dicermati, Singapura adalah ibarat “tulang ekor” dalam anotomi tulang Benua Asia.
Batam sebenarnya bisa menyaingi posisi Singapura, tapi sudah telat. Lagi pula Batam terlalu jauh posisinya dari daratan Sumatera, bila dibanding Singapura terhadap Semenanjung Malaysia.
Di Indonesia belum banyak kajian kewilayahan yang fokus mengkaji setiap daerah berdasarkan local genius-nya.
“Cirebon yang tanggung”
Kalau kajian itu diimpelementasikan ke Indonesia, gambarannya kira-kira sebagai berikut: di Pulau Jawa misalnya, posisi Cirebon adalah titik yang tanggung di sepanjang Pantura Jawa, mulai dari Anyer sampai Surabaya. Itulah sebabnya, pembangunan dan kemajuan Cirebon selalu tertinggal dibanding Semarang, apalagi Surabaya.
Sampai saat inipun, kalau berangkat berkendara mobil sekitar jam 07.00 dari Jakarta menuju Semarang, kita akan tiba di Cirebon sekitar jam 11.00. Mau mampir masih tanggung. Jika ingin makan siang, belum lapar. Akhirnya pengendara umumnya akan melewati Cirebon, mungkin akan singgah di wilayah Tegal dan/atau Pekalongan. Tidak aneh, progresivitas pembangungan di Tegal dan Pekalongan jauh lebih tinggi dibanding Cirebon.
Dubai, local genius udara
Pada tingkat global, sampai tahun 1980-an, wilayah Teluk Persia belum dilirik sebagai tempat transit. Ketika itu, sebagian besar penerbangan antara Eropa dan Asia masih memilih transit di Kairo atau Jeddah. Tapi untuk lalu lintas udara antara Asia dan Eropa, posisi geografi Kairo dan Jeddah tidak ideal, karena terlalu dekat dengan Eropa, dan terlalu jauh dari Asia Timur.
Mulai akhir tahun 1990-an, Dubai memaksimalkan “local genius”-nya dan mulai didesain untuk menjadi hub (poros) bagi lalu lintas udara global. Sebab, kalau menarik garis lurus dari Asia (Jepang) dan Eropa (London), atau antara Asia dan Afrika, posisi Dubai relatif berada di tengah, dan karena itu, ideal untuk menjadi tempat transit. Saat ini, nyaris semua penerbangan antara Asia-Eropa atau Asia-Afrika mampir di Dubai. Ketika Doha dan Abu Dhabi mulai membenahi diri, Dubai sudah melangkah jauh.
Sulbar, masa depan yang tidak terlalu menjanjikan
Kalau kajian local genius itu diimplementasikan untuk Sulbar dan Mamuju sebagai ibukota provinsi, hasilnya tidak terlalu menjanjikan.
Sebab hampir semua wilayah pantai barat Sulawesi, mulai dari Pangkep di Sulawesi Selatan sampai Donggola dan Toli-Toli di Sulawesi Tengah, adalah rangkaian titik-titik di peta, yang tidak memiliki local genius secara geografis.
Dalam peta Nusantara pun, Mamuju adalah “titik yang sangat tanggung”, nyaris tak punya keunggulan local genius. Selat Makassar, bukan jalur maritim yang ramai, bila dibanding dengan Selat Sunda misalnya. Bahkan seandainya pun nanti Selat Makassar menjadi jalur utama perairan Nusantara, semua kapal yang berlayar di Selat Makassar akan menilai Mamuju sebagai pelabuhan berlabuh yang tidak ekonomis.
Dan kita tahu, lalu lintas udara antara barat dan timur Indonesia, sejak dulu dan sampai saat ini, umumnya transit di dua titik (Makassar dan/atau Balikpapan). Dan ke depan, kecil kemungkinan Mamuju akan mampu menggeser posisi Balikpapan dan Makassar.
Solusi: sentra produk unggulan
Terus terang, saya belum memiliki dan belum pernah membaca rumusan tentang masa depan Sulbar, katakanlah, akan seperti apa Sulbar pada tahun 2050 atau bahkan 2100.
Tentu saja, orang Mandar di Sulawesi Barat tidak perlu berkecil hati. Namun over optimistik tentang masa depan Sulbar, sejujurnya, juga tidak terlalu berasalan. Sebab absennya local genius untuk suatu wilayah biasanya diatasi melalui kebijakan produk unggulan.
Kita perlu belajar banyak bagaimana negara-negara bagian di wilayah tengah Amerika Serikat, merancang masa depan untuk mengimbangi negara bagian Los Angles di pantai barat Amerika, dan New York di pantai timurnya. Sekedar contoh, Negara Bagian Nevada yang secara geografis tidak memiliki local genius dalam peta geografi Amerika, misalnya, dirancang dan memposisikan diri sebagai pusat judi (Las Vegas) bagi seluruh Amerika bahkan dunia.
Faktanya, hingga saat ini, belum ada industri pabrikan yang berbasis di Sulbar, kecuali mungkin kelapa sawit, itupun masih setengah jadi, belum diolah menjadi produk akhir yang siap dilempar ke pasar.
Namun menjadikan Sulbar sebagai basis untuk satu-dua-tiga industri unggulan, bukan persoalan yang bisa diselesaikan dalam dua periode kepemimpinan lokal (Gubernur ataupun Bupati/Walikota). Diperlukan road map jangka panjang, mungkin sampai 50 (lima puluh) sampai 100 (seratus) tahunan. Dan hal ini mestinya dijadikan wacana serius yang melibatkan semua stake-holderdi Sulbar. Tanpa itu, sekali lagi, tidak beralasan untuk terlalu optimistik.
Syarifuddin Abdullah | Jumat, 26 Agustus 2016 / 23 Dzul Qa’dah 1437H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H