Setelah bertahun-tahun melakoni ritual mudik lebaran, saya baru menyadari bahwa ternyata pemudik Lebaran Idul Fitri di Indonesia sangat dimanjakan, baik oleh pemerintah, warga sepanjang jalur mudik, liputan media massa, dan berbagai langkah-langkah antisipasi oleh pemerintah pusat dan daerah yang menjadi jalur utama mudik. Tidak berlebihan kalau dikatakan, musim mudik dan arus balik adalah momen di mana sebagian warga (pemudik) benar-benar merasakan kehadiran pemerintah.
Pemanjaan untuk pemudik itu juga terlihat jelas dari peliputan media massa dengan mengirim tim reportasenya di berbagai simpul kemacetan; setiap saat, para pejabat tinggi terkait memberikan keterangan di media massa tentang kondisi terkini arus lalu lintas mudik dan arus balik. Dan yang paling spektakuler, polisi bekerja esktra justru di hari liburan. Semuanya itu dilakukan untuk memanjakan pemudik.
Komunikasi antara pemudik dan warga di sepanjang jalur mudik, khususnya ketika arus kendaraan tersendat, juga terjadi saling pengertian, yang sulit diperoleh pada hari-hari biasa. Semuanya itu dilakukan untuk memanjakan pemudik.
Dan yang langka diliput bahkan jarang diperhatikan oleh pemudik sendiri, adalah selama musim mudik dan arus balik, dipastikan tidak ada jalanan di Pantura yang berlobang. Tentu tidak semuanya mulus, di sebagian titik masih terlihat tambalan ala kadarnya, tapi tidak adanya lobang di jalanan dipastikan memberikan kenyamanan berkendara. Saya tahu persis hal ini, karena saya melewati Jalur Pantura bisa sampai empat kali dalam setahun. Dan semuanya itu untuk memanjakan pemudik.
Secara nasional, pemerintah terkait bahkan mengambil sejumlah tindakan darurat, khususnya untuk para pemudik motor. Misalnya penyediaan kapal laut untuk mengangkut motor, penyediaan berbagai moda transportasi lebaran, melebih kapasitas normal. Semua itu untuk memanjakan pemudik.
Meski tidak gratis, di sepanjang Jalur Pantura – termasuk di area tol setiap mendekat pintu masuk/keluar tol, banyak warga lokal yang menjadi pedagang dadakan – yang selain menjual berbagai jajanan dan makanan, juga menyediakan tempat istirahat untuk para pemudik, meski hanya alas tikar sekedarnya, sering tidak ada bantalnya. Semua itu untuk memanjakan pemudik.
Sejumlah organisasi kepemudaan, remaja masjid, perangkat desa, para pegiat pandu, bahkan inisiatif warga, menyulap gedung-gedung sekolah, kantor-kantor instansi pemerintah desa, kecamatan, kabupaten yang terletak di jalur mudik sebagai rest area. Semua itu untuk memanjakan pemudik.
Bahkan di sejumlah titik, sebagian besar lahan-lahan kosong di sepanjang jalur mudik disulap menjadi rest area dengan dipasangi tenda-tenda, yang dikelola secara swadaya, biasanya dikoordinir oleh pihak kepolisian. Semua itu untuk memanjakan pemudik.
Beberapa ruas jalan tol yang mestinya belum difungsikan, dibuka bahkan secara gratis selama musim mudik dan arus balik. Semua itu untuk memanjakan pemudik.
Perusahaan-perusahaan otomotif dan komunikasi, menyediakan posko-posko mudik untuk melayani pelanggannya. Intinya, sepanjang jalur mudik seperti menjadi sebuah pasar mengular, mungkin terpanjang di dunia, selama musim mudik dan arus baliknya. Semua itu untuk memanjakan pemudik. Benar kata Gubernur Jawa Tengah Pak Ganjar, bahwa salah satu sisi eksotiknya mudik adalah jajanan di Jalur Pantura.
Beberapa pemandangan menarik juga terlihat. Di beberapa pos, sejumlah aparat polisi pada waktu tertentu, dengan panggung trotoar jalan, rela dan sengaja mendendangkan lagu lewat pengeras suara untuk menghibur pemudik.