Saya bukan ahli wilayah Eropa. Tapi saya tidak tahan untuk tidak mengomentari hasil referandum Brexit 23 Juni 2016, yang berakhir dengan perbandingan 51,89% mendukung keluar dari UE dan 48,11% lainnya memilih tetap bergabung dengan EU.
Dan pengaruhnya sungguh luar biasa: PM Inggris Cameron, yang mendukung remain in EU, secara jujur mengakui merasa kehilangan kredibilitas untuk bertahan sebagai PM Inggris dan memutuskan untuk mengundurkan diri (yang akan efektif pada Oktober 2016). Indeks bursa saham di berbagai belahan dunia meluncur tajam. Pound Sterling mengalami penurunan tajam selama 25 tahun terakhir.
Dan para pemimpin Eropa, hampir semuanya kecewa. Presiden Perancis Hollande mengatakan, “I deeply regret it (saya sungguh menyesalinya)”.
Konselir Jerman Angela Markel mengtakan, Brexit adalah “cut for Europe (memotong persatuan Eropa)”. Pernyataan Markel lebih tajam, sebab selama ini, kekuatan EU memang ditopang oleh tiga pilar utama: Jerman, Perancis dan Inggris. Keluarnya Inggris menjadikan EU kehilangan salah satu pilar utamanya.
Tapi pendukung out of Europe, Le Pen punya pandangan lain: “This is a day of joy. And Brexit is a victory for freedom (ini adalah hari kesenangan, Kemenangan Brexit adalah kemenangan kebebasan”.
Selama lebih dari 50 tahun, para pendukung organisasi regional, senantiasa menjadikan EU sebagai bentuk ideal, dengan asusmi bahwa EU adalah sebuah organisasi regional yang paling matang dalam berbagai segi, khususnya di bidang ekonomi.
Hampir semua pengamat di luar Inggris menyesalkan pilihan warga Inggris yang memilih keluar dari EU. Tapi saya yakin, warga Inggris yang memilih Brexit pasti punya argumentasinya.
Buat saya: perbandingan suara yang sangat tipis (51,89 melawan 48,11) menunjukkan dua hal utama: (1) bagi Inggris, sebagai sebuah negara, hasil Brexit tersebut tidak punya pengaruh signifikan; (2) perbedaan tipis itu sekaligus menunjukkan bahwa referandum itu memecah rakyat Inggris secara tajam.
Tapi dari segi geografis, Inggris memang bukan Eropa daratan. Inggris adalah negeri seberang bagi Eropa. Barangkali hasil Brexit tersebut justru kembali membuktikan bahwa geografi tidak pernah bohong dan selalu menjadi pemandu utama untuk memahami sebuah kawasan regional. Dan ke depan, geografi juga akan membuktikan bahwa Inggris tidak akan mampu memisahkan diri sepenuhnya dari karakter Eropanya, meskipun berusaha untuk mengingkarinya.
Dan hal paling menarik buat saya dari pelaksanaan referandum Brexit adalah tidak adanya suara yang mengatakan bahwa hasil referandum itu adalah hasil rekayasa atau dimanipulasi.
Syarifuddin Abdullah | Jumat, 24 Juni 2016M / 19 Ramadhan 1437H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H