Awalnya saya pikir, sepanjang-panjangnya, dua rakaat mungkin berlangsung paling lama 10 s.d 15 menit. Dan ternyata perkiraan saya meleset jauh.
Dengan ritme bacaan murattal yang normal, rata-rata setiap dua rakaat tarwihan itu berlangsung sekitar 1 jam (60 menit), dan Imam membaca sekitar satu juz Quran. Artinya, pada malam itu, dengan 8 rakaat tarwih plus 3 rakaat witir, Imam membaca ayat Quran lebih dari 3 s.d 4 juz (dalam mushaf Qauran berarti sekitar 80 halaman).
Karena panjangnya ayat yang dibaca, seingat saya, salam untuk rakat witir terakhir terjadi hanya sekitar 10 menit sebelum azan subuh. Begitu selesai witir, jamaah langsung bubar, bergerak simultan guna memanfaatkan waktu yang tersisa hanya 10 menit untuk santap sahur, dan setiap orang terpaksa harus makan dengan cepat. Mulut belum kering, azan subuh sudah berkumandang lagi. Bagi yang merokok, mana sempat?
Ilustrasi pelaksanaan shalat tarwihnya kira-kira begini: ketika imam memulai rakaat dengan takbiratul-ihram, kalau ada jamaah yang pergi ke toilet dulu, pipis, buang hajat, bila perlu mandi dulu, mungkin sambil rebahan sejenak, terus kembali lagi ke shalat tarwih, dan dia belum akan terlambat untuk rakaat pertama.
Sebagian jemaah terlihat menjadi makmum sejak awal, tapi di tengah rakaat, dia keluar dari jamaah, mungkin karena ingin ke toilet dulu, setelah berbaring sejenak di pinggir masjid, kemudian kembali lagi masuk menjadi makmum, dan belum terlambat. Imam masih di rakaat pertama.
Sebagian jemaah lainnya, yang konsisten mengikuti imam, di awal rakat dia berdiri, karena capek, dia harus mengubah berkali-kali posisi dan gaya berdirinya.
Sebagian lagi ada jamaah yang di awal rakaat berdiri mengikuti imam, setelah capek, dia lanjut dengan shalat duduk dan tetap menjadi makmum, lalu berdiri lagi, bisa berkali-kali berganti posisi: berdiri, duduk, berdiri lagi dan duduk lagi.
Terus terang, shalat tarwihan semalam suntuk itu, bukan kelas saya. Saya tidak mampu, dan hanya satu kali saja saya mengikutinya.
Saya bertanya kepada seorang jamaah: “Dari mana ide pelaksanaan shalat tarwih seperti itu?” | “Sederhana saja. Kami meyakini bahwa 12 bulan dalam setahun, 11 bulan di antaranya telah kami gunakan maksimal untuk mencari rezki dan kegiatan lainnya, lalu kami bersepakat untuk mengkhususkan Ramadhan sebagai bulan untuk beribadah saja: di siang hari membaca quran dan zikir, di malam hari semata melakukan qiyamullail (baca: tarwih)” |“Dan kegiatan ini sudah berlangsung bertahun-tahun?” I “Ya, setiap tahun, hanya tempatnya saja kadang berpindah-pindah. Tergantung domisili sponsor logistiknya”.
Saya perhatikan, di lantai dasar gedung yang difungsikan sebagai dapur dan gudang, memang terlihat tumpukan tomat, bawang, kentan dan berbagai bahan masakan lainnya yang cukup untuk konsumsi satu bulan. Sejumlah mesin pendingan (refrigerator) yang besar berisi daging, ayam, dan ikan juga disiapkan untuk konsumsi satu bulan. Biar tambah aman, mereka menyewa satu group tukang masak untuk menyediakan santap buka dan sahur. “Jadi, kami bisa fokus beribadah saja selama Ramadhan. Sekali lagi, 11 bulan cukup untuk mencari rezki dan kegiatan lainnya, dan kami memilih Ramadhan hanya semata beribadah saja”.
Saya pikir tadinya jamaah tersebut dari kelompok sosial menengah ke bawah. Tapi dari penampilan dan mobil-mobil yang dikendarai, terlihat jelas bahwa sebagian besar jemaah tarwih semalam suntuk itu adalah kelompok sosial yang mapan secara ekonomi. Terus terang, saya hanya bisa mengatakan salut kepada mereka, dan saya belum mencapai kelas spritual untuk mencontoh cara mereka memuliakan bulan Ramadhan.