Tentu tidak salah kalau banyak Muslim yang tiba-tiba terkesan “histeris” menyambut Ramadhan. Di beberapa pasar dan mal, songkok dan sarung jadi laris karena banyak pembeli yang mungkin ingin pakai songkok dan sarung baru ketika tarwihan pertama menyambut Ramadhan.
Tapi mari memperlakukan Ramadhan sebagaimana mestinya. Ramadhan tidak meminta Muslim untuk bersongkok dan bersarung baru. Syarat dan rukun shalat itu sama di bulan Ramadhan dan di bulan-bulan lain. Tidak ada perintah bahwa berbuka puasa harus di rumah. Sebab buka puasa itu lebih identik dengan waktu, bukan tempat.
Banyak hadist Nabi yang meriwayatkan bahwa selama bulan Sya’ban, Rasulullah saw sering melakukan puasa sunnat (di luar Senin-Kamis dan tanggal 13,14,15 Hijriyah), sebagai bentuk mempersiapkan diri menyambut bulan Ramadhan.
Tapi semua bentuk zhahir ibadah tidak berbeda antara di bulan Ramadhan dengan di bulan-bulan lainnya. Shalat wajib tetap lima waktu. Waktu puasa Ramadhan sama dengan puasa sunnat Senin-Kamis. Perbedaannya hanya pada janji Allah tentang pahala yang berlipat-lipat.
Dan cara paling ideal menyambut Ramadhan adalah tidak merasa terbebani dengan kewajiban Ramadhan.
Tidak terbebani karena puasa di siang Ramadhan adalah perintah wajib. Dan saya berpuasa bukan karena Ramadhannya, tapi semata karena tunduk pada perintah. Dan di sinilah inti makna ketaatan.
Jadi kalau saya perokok, misalnya, ketika Ramadhan tiba, saya menahan atau tidak merokok di siang Ramadhan tanpa merasa terbebani atau merasa tersiksa. Padahal mungkin di luar Ramadhan, seorang perokok tidak akan tahan tidak merokok selama sekitar 14 jam, kecuali kalau dipaksa, misalnya naik pesawat dengan penerbangan jarak jauh.
Ramadhan adalah momentum untuk menguji level ketaatan seorang hamba Muslim. Kalau saya naik angkot, lalu supir angkotnya atau salah satu penumpang merokok atau mengunyah permen, tidak perlu merasa tersinggung. Sebab boleh jadi supir atau penumpang yang merokok itu non-Muslim,yang memang tidak memposisikan puasa Ramadhan sebagai kewajiban.
Bahkan seandainya pun penumpang angkot yang merokok itu Muslim, juga tidak perlu merasa terganggu. Sebab boleh jadi, Muslim itu seorang musafir, yang memang diberi keringanan (rukhshah) untuk tidak berpuasa.
Menghormati Ramadhan, bagi seorang Muslim, adalah melakukan ibadah puasa semata karena tunduk dan taat pada perintah wajib. Itu saja. Dan sungguh keliru bila ada orang berpuasa yang meminta dihormati oleh orang yang tidak berpuasa.
Banyak Muslim yang buru-buru mau pulang dari tempat kerja di sore hari, dengan alasan ingin berbuka puasa di rumah. Setahu saya, tidak ada riwayat yang menganjurkan orang berpuasa agar berupaya berbuka puasa di rumah setiap hari. Sebab sekali lagi, buka puasa itu terkait dengan waktu, bukan tempat. Artinya, di mana pun, kalau memang sudah tiba saatnya buka, ya minum dan makan saja.
Kalau Anda suka berbuka dengan onde-onde atau kolak, silahkan saja. Tapi kalau giliran tidak ada onde-onde atau kolak, bersikap biasa saja. Ritual buka puasa tidak boleh dikeramatkan dengan jenis makanan tertentu. Sebab, sunnah Rasul hanya menganjurkan untuk berbuka dengan yang manis-manis. Kalau tidak ada yang manis-manis, berbukalah dengan air putih.
Akan lebih baik bila setiap Muslim menyambut Ramadhan dengan cara memantaskan diri untuk dimuliakan dan/atau termuliakan selama bulan Ramadhan.
Kalau Ramadhan diibaratkan sebuah "rumah", maka mari menjadi tamu yang layak dihormati oleh Pemilik bulan Ramadhan. Dan kata kuncinya adalah menjalankan puasa Ramadahan semata karena taat pada perintah wajib, tidak merasa terbebani. Biarkan Ramadhan menyambutmu.
Syarifuddin Abdullah | Kamis, 02 Juni 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H