Pelajaran apa yang bisa dipetik dari uraian di atas, dalam rangka mendukung gagasan “Bulan Pendidikan Kebudayaan”.
Buat saya, merevitalisasi program “Orangtua Asuh” yang dikelola secara nasional bukan alternatif terbaik, setidaknya untuk saat ini, khususnya di tengah maraknya praktek korupsi di semua lini.
Saya malah mengusulkan agar setiap “keluarga besar” di Indonesia menginisiasi program beasiswa untuk anggota keluarga besarnya saja, dengan model The Jewish Agency. Berikut ini alasannya:
Pertama, saya yakin, setiap keluarga besar – yang terikat hubungan kekerabatan – di Indonesia umumnya memiliki beberapa anggota keluarga yang sudah mapan secara ekonomi. Dan sering terjadi, anggota keluarga yang sudah kaya itu sebenarnya ingin membantu anggota keluarga lainnya yang kurang mampu, namun terbentur oleh tidak adanya pengelola beasiswa yang kredibel.
Kedua, kalau setiap keluarga besar membangun sendiri keluarganya, bukan berarti akan menyemai ego kekerabatan. Sebaliknya, justru diharapkan akan terjadi persaingan sehat antar keluarga besar: berlomba meningkatkan kualitas pendidikan anggota keluarga besarnya.
Ketiga, membantu orang lain – apalagi dalam lingkungan keluarga besar – bukan hanya meningkatkan marwah keluarga besar, tapi juga ikut mencerdeskan kehidupan berbangsa dan bernegara secara tidak langsung. Dan kontrol penyalurannya relatif mudah dilakukan.
Keempat, konsep beasiswa putra-putri Yahudi yang dikelola oleh The Jewish Agency itu adalah konsep yang sederhana. Bisa dilakukan dan segera dimulai di lingkungan keluarga besar, tanpa harus melibatkan secara langsung pemerintah pusat ataupun daerah.
Catatan akhir: komunitas Yahudi membutuhkan waktu lebih dari 30 tahun untuk memapankan posisi beasiswa abadi itu (sejak Kongres Zionis-I di Basel 1897 sampai pembentukan organisasi resmi yang kemudian bernama The Jewish Agency pada 1929). Jadi kalau kita baru mau mulai, jangan lantas berharap hasilnya akan langsung gress dua-tiga tahun ke depan. Membangun bangsa yang cerdas, selain tidak enteng, juga memerlukan napas panjang.
Syarifuddin Abdullah | Ahad, 22 Mei 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H