Isu Agama dalam Pemilu, file pribadi
Artikel ini bukan untuk menjelaskan dalil-dalil keagamaan tentang boleh-tidaknya seorang kandidat dipilih berdasarkan agama yang diyakininya, tapi sebuah analisa sederhana tentang sejauh mana efek penggunaan isu agama untuk mendeligimitasi atau menjatuhkan seorang calon pesaing.
Kesimpulan awal saya: isu agama itu nggak nendang, bung. Dalam beberapa kasus Pilkada, isu agama yang disetir untuk menjatuhkan seorang kandidat kadang justru berubah menjadi kredit point bagi kandidat yang diserang. Dan ternyata argumennya relatif sederhana.
Pertama, kalau saya seorang kandidat yang beragama “A”, lalu meggunakan isu agama untuk menyudutkan kandidat lain yang beragama “B”, padahal saya sendiri bukan penganut yang taat terhadap agama “A” yang saya yakini, maka tindakan penyudutan yang saya lakukan sebenarnya tidak memiliki legimitasi yang kuat. Wong, saya sendiri bukan penganut yang taat.
Kedua, dan ini argumen kuncinya, mengacu pada hasil penelusuran terhadap karakter pemilih nasional, berdasarkan data hasil empat kali Pemilu legislatif: 1999, 2004, 2009 dan 2014 (lihat grafik ilustrasi). Catatan: argumen ini merupakan pengulangan dari uraian pada artikel sebelumnya: http://www.kompasiana.com/sabdullah/mencermati-sepak-terjang-hary-tanoesudibjo-sosialisasi-ke-ponpes_5720fe20779773fd0b245a1e
Intinya, kalau digabung perolahan suara lima parpol yang berbasis agama Islam pada setiap pemilu, total perolehan suaranya berayun di angka 26 sampai 35 persen atau rata-rata hanya 32 persen dari total suara nasional. Dan angka itu relatif konsisten.
Artinya, lebih dari 65 persen pemilih di Indonesia terdiri dari pemilih nasionalis (liberal, sosialis), pemilih tak ideologis, dan pemilih yang mengandalkan besaran amplop serangan fajar. Mereka ini cenderung tidak peduli dengan agama yang dianut oleh kandidat pilihannya.
Dan angka rata-rata yang 32 persen itupun terkotak-kotak lagi berdasarkan mazhab fikhinya. Yang fanatik dengan mazhab Syafii akan cenderung memilih PKB atau PPP. Sementara yang berafeliasi ke mazhab Hanbali cenderung berayun di antara PAN, PKS dan PBB.
Saya memang belum menelusuri karakter pemilih berdasarkan wilayah provinsi. Tapi saya cukup yakin, hasilnya tidak akan berbeda jauh dari karakter pemilih di tingkat nasional, tentu dengan beberapa wilayah pengecualian.
Karena itu, sekali lagi, isu agama untuk mendiskreditkan seorang kandidat dalam pilkada gubernur atau bupati, percaya deh, mungkin nyerempet, tapi gak bakal nendang. Bahkan jika keliru mengantisipasinya justru berpotensi menjadi bumerang: penyerang buntung dan yang disudutkan malah diuntungkan.
Syarifuddin Abdullah | Sabtu, 30 April 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H