Yang membuat saya tambah bingung, selama tiga bulan terakhir, si Abah tidak pernah meninggalkan lingkungan apartemen. Setiap hari, Si Abah memposisikan diri sebagai orang yang siap membantu setiap penghuni apartemen untuk apa saja: angkat sampah, membelikan rokok, mencuci mobil, memperbaiki engsel pintu yang copot murnya, mengepel lorong apartemen, dan seterusnya.
Tapi yang membuat saya diam-diam salut dengan si Abah: wajahnya tidak pernah – sungguh belum pernah – terlihat murung. Ceria terus. Kalau berbicara, selalu dengan suara lantang disertai senyum, artikulasi hurupnya tegas dan jelas. Dia terkesan ingin “mengabdikan diri” atau "mewakafkan diri” untuk semua penghuni apartemen. Tapi untuk apa dan kenapa?
Setengah mengeluh, Si Abah bercerita: “Kemarin, saya duduk-duduk santai di emperan parkiran apartemen dengan seorang pekerja bangunan proyek di samping apartemen. Lantas ada seorang ibu penghuni apartemen datang menyetir mobil sendiri. Setelah mobilnya diparkir, dia turun membuka pintu tengah mobil dan terlihat ada galon air terisi di jok belakang mobilnya.
Ibu itu meminta tolong kepada pekerja bangunan yang duduk di samping saya untuk mengangkat galon air ke unit apartemennya......” | “Terus?” | “Saya tersinggung, kenapa bukan saya yang disuruh? Padahal siapapun penghuni apartemen yang menyuruh saya untuk apa saja, saya tidak pernah menolak dan belum pernah meminta diupahin”.
Tambah bingung aku, siapa sebenarnya si Abah itu? (BERSAMBUNG)
Syarifuddin Abdullah | Rabu, 20 April 2016