[caption caption="File pribadi"][/caption]
Otoritas yang besar dan kuat namun tidak didukung kapasitas ilmu dan teori yang memadai, biasanya akan menciptakan kepincangan managerial yang serius.
Dan wakil rakyat di negara manapun dan dalam sistem apapun, biasanya memiliki empat ciri/karakter sebagai berikut:
1. Kualitas dan kapasitas keilmuan para wakil rakyat biasanya di bawah level atau lebih rendah dibanding kapasitas para jajaran eksekutif, khususnya di bidang teknis seperti budgetting (penganggaran).
2. Wakil rakyat – secara individu maupun kelembagaan – memiliki otoritas yang besar dan kuat berdasarkan amanat undang-undang, untuk melakukan legislasi, pengawasan dan pemberian endorsment atau penolakan terhadap kebijakan dan keputusan eksekutif.
3. Wakil rakyat adalah politisi, bukan birokrat. Maka ketika para wakil rakyat itu harus mengerjakan sesuatu yang lebih birokratif, mereka cenderung bermain di ranah retorika (seperti slogan kesejahteraan rakyat, keberpihakan pada rakyat kecil dan sejenisnya).
4. Kombinasi antara otoritas besar dan kapasitas keilmuan yang tidak memadai tersebut, biasanya berujung pada konsekuensi logisnya: kompromi dan kompromi.
Untuk kasus Indonesia, di tingkat pusat ataupun di daerah, empat ciri wakil rakyat di parlemen itu bisa ditemukan dengan mudah. Ibaratnya, sambil merem-pun, ketemu.
Contoh, seorang aktivis yang bergerak di bidang perburuhan atau alumni ponpes (tanpa pendidikan lanjutan), yang terpilih menjadi anggota DPR/DPRD, kemudian ditugaskan di Komisi Anggaran, tahu apa mereka tentang mekanisme dan proses penganggaran.
Kalau jajaran anggota DPR/DPRD/DPD tidak menyadari kondisi faktual ini, sekali lagi, akan berujung pada kepincangan managerial yang serius. Sebab para wakil rakyat itu akan lebih sering mengandalkan logika umum dan retorika saja. Jangan heran, sering terjadi anggota DPR/DPRD terkesan “dikerjain” oleh eksektuif, terutama dalam soal budgetting dan pelaporan keuangan.
Solusinya, untuk mendapatkan kapasitas keilmuan yang memadai, guna mengimbangi otoritas besar yang dimilikinya dan untuk menghadapi jajaran eksekutif yang lebih berpengalaman, mau tidak mau, setiap wakil rakyat yang baik dan benar, tentu akan dan mestinya memang melakukan langkah-langkah terobosan: Salah satunya menggandeng tenaga atau staf ahli, secara perorangan atau kelembagaan.
Dalam hal ini menarik menyimak gambaran tradisi wakil rakyat di Amerika: anggota Kongres yang berbasis negara bagian, yang sudah lama memiliki tradisi bahwa setiap anggota Kongres memiliki staf ahli (SA) minimal 3 orang, sesuai bidang komisinya di Kongres (boleh disebut ini staf ahli jenjang-1 atau lapis pertama).
Terus 3 staf ahli jenjang-1 itu, masing-masing punya lagi minimal 3 staf ahli (yakni staf ahli jenjang-2 yang berjumlah 9 orang).
Lantas 9 staf ahli di jenjang-2, masing-masing punya staf ahli lagi minimal 3 staf ahli (staf ahli jenjang-3), yang berjumlah 27 orang. Dengan demikian, si anggota Kongres, ibaratnya didukung 40 staf ahli (lihat ilustrasi), meski yang berkomunikasi langsung dengan anggota kongres itu hanya tiga staf ahli di jenjang pertama.
Selanjutnya, para SA jenjang-3 yang berjumlah 27 orang tersebut, masing-masing mungkin aktif lagi di berbagai kelompok diskusi yang bekerja sebagai outsourcing.
Karena tradisi ini sudah berlangsung bertahun-tahun, tidak aneh, rata-rata penampilan publik anggota Kongres di Amerika, terlihat memahami dengan benar persoalan yang menjadi bidang komisinya di Kongres, meski pemahaman yang benar tersebut akan mengacu pada ideologi tertentu (keilmuan atau berdasarkan ideologi partai).
Untuk kasus-kasus yang menjadi perhatian publik, pernyataan setiap anggota Kongres umumnya layak kutip di media. Tidak ada pernyataan ecek-ecek atau asal bunyi. Sebab, setiap pernyataan yang dipublikasikan seorang anggota Kongres adalah intisari dan hasil diskusi berjenjang yang melibatkan pemikiran sekitar 40 staf ahli.
Untuk mencapai level dan kualitas seperti itu tentu membutuhkan biaya. Sebab untuk menjadi wakil rakyat yang bermutu, memang mahal harganya, bukan semata mengandalkan ketokohan dan elektabilitas.
Syarifuddin Abdullah | Jumat, 26 Februari 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H