Ilustrasi =File pribadi
Salah satu sikap yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah empati, yakni sikap menyelami kondisi faktual, aspirasi dan bahkan suasana batin orang-orang yang dipimpinnya (*).
Dalam Quran, Rasulullah saw digambarkan sebagai seorang pemimpin yang sangat berempati terhadap penderitaan umatnya:
"لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ"
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri; berat terasa olehya (sangat peduli dan berempati) dengan penderitaanmu; sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu; terhadap orang-orang mu’min bersikap amat berbelas kasih dan penyayang” (QS At-Taubah, ayat 128).
Empati seorang pemimpin adalah upaya serius untuk memahami persoalan dan aspirasi orang-orang yang dipimpinnya, dan berdasarkan hasil penyelaman itulah, sang pemimpin berusaha secara adil dan bijak merumuskan kebijakan untuk merespon dan memenuhi aspirasi tersebut.
Contoh, kecil kemungkinan seorang pemimpin bisa berempati tentang bagaimana rasanya menaiki kereta komuter jurusan Bogor-Jakarta di pagi dan sore hari, waktu berangkat dan pulang kerja, bila pemimpin itu tidak pernah naik kereta komuter.
Tentu dimungkinkan saja seorang pemimpin memperoleh gambarannya melalui laporan staf. Tapi, seperti lazimnya laporan penggambaran, selalu tidak luput dari distorsi, tidak mungkin utuh.
Makanya ada ungkapan yang mengatakan (لَيْسَ مَنْ رَأَي كَمَنْ سَمِعَ), “Tidak mungkin sama antara orang melihat dengan orang yang hanya mendengar”. Apalagi kalau pengalaman melihat itu diperkuat dengan pengalaman riil melakoninya. Dalam poin ini, terlepas dari niat dan tujuannya, saya termasuk salut dengan praktek blusukan Jokowi, baik ketika menjabat Walikota Solo, Gubernur DKI ataupun setelah menjadi RI-1.
Menarik merenungkan kisah Umar bin Khattab dan para prajuritnya di medan tempur:
Di era kekuasaan Umar bin Khattab, terjadi ekspansi kekuasaan secara massif: pasukan dikirim ke berbagai wilayah ekspansi. Konsekuensinya, para prajurit di garis depan mengalami persoalan serius terkait seberapa lama seorang prajurit bisa bertahan secara normal tidak melakukan hubungan intim dengan istrinya.
Sebagai pemimpin yang peduli dan berempati dengan persoalan umatnya, Umar bin Khattab menilai persoalan ini sangat serius. Dia ingin memastikan seberapa lama prajurit bisa bertahan tidak berhubungan dengan istrinya, dan juga seberapa lama seorang istri mampu bertahan ditinggal suaminya.
Lalu Umar bin Khattab melakukan penyelidikan, sejenis polling. Sejumlah istri prajurit ditanyai: berapa lama sanggup bertahan ditinggal suaminya? Para prajurit dimintai jawaban seberapa lama mampu bertahan tidak melakukan hubungan intim dengan istrinya.
Jawaban para prajurit dan istri-istrinya tentu tidak seragam. Ada yang menjawab mampu bertahan selama satu tahun. Sebagian menjawab bisa bertahan selama enam bulan. Lainnya menjawab hanya bisa bertahan maksimal tiga bulan, dua bulan.
Berdasarkan hasil investigasi itulah, Umar mengambil kebijakannya yang sangat populer: rolling (pengiriman dan penarikan) prajurit ke dan dari medan tempur maksimal enam bulan. Beberapa riwayat menyebutkan, kebijakan itu kemudian direvisi lagi menjadi maksimal 4 bulan.
Kebijakan Umar bin Khattab tersebut merupakan empati, menyelami fakta dan dan persoalan yang dialami oleh orang-orang yang dipimpinnya.
Kebijakan Umar itu dianggap sebagai sebuah terobosan seorang pemimpin yang berempati, karena persoalan ini memang tidak ada dalil langsungnya di dalam Quran maupun Sunnah Nabi.
(*) Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, 2002: empati: keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain).
Syarifuddin Abdullah | Sabtu, 06 Februari 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H