Keenam, praktek keadilan sering tidak bisa secara langsung dikaitkan dengan hukum keagamaan. Soal penggusuran di wilayah hijau, misalnya, tidak bisa dikaitkan langsung dengan hukum agama, selama penggusuran itu dilakukan secara adil, tanpa pandang bulu.
Ketujuh, praktek keadilan setali mata uang dengan penegakan peraturan, meski peraturan itu sendiri terkadang kurang/tidak mencerminkan rasa keadilan. Pemimpin yang berusaha maksimal menegakkan suatu peraturan, tanpa pandang bulu, akan diposisikan sebagai pemimpin adil, walaupun sekali lagi, pasal-pasal peraturan itu dianggap tidak adil.
Dalam kasus PT Freeport Indonesia (PTFI) misalnya, boleh dibilang semua aturannya mencerminkan ketidakadilan. Karena perdebatannya berkutat pada upaya mengkonfrontasikan antara Perjanjian Konsensi vs UU Minerba. Kasus PTFI kemudian menjadi simbol ketidakadilan, karena sejauh ini, belum ada pemimpin nasional yang berupaya maksimal untuk menegakkan peraturan yang terkait dengan PTFI.
Kedelapan, keadilan kadang tidak berjalan seiring dengan etika yang dominan dalam suatu komunitas. Tapi keadilan akan memaksakan etikanya sendiri. Karena itu, seorang pemimpin yang berbusa-busa mulutnya menceramahkan soal etika, tetap akan terhina di mata publik kalau dia tidak berlaku adil. Begitu pula sebaliknya.
Kembali ke soal Ahook, Sang Gubernur, meskipun dinilai sering keluar dari norma etika, Ahook tetap dipuja dan mendapatkan dukungan signifikan, karena dia dinilai cukup berusaha berlaku adil.
Soal etika bisa dicari sendiri oleh setiap individu, tetapi keadilan harus datang dari seorang pemimpin yang memiliki legalitas dan otoritas untuk menjalankan keadilan.
Benar sungguh lirik lagu Iwan Fals: “Masalah moral, masalah akhlak # Biar kami cari sendiri # Urus saja moralmu, urus saja akhlakmu # Peraturan yang sehat yang kami mau # Tegakkan hukum setegak-tegaknya # Adil dan tegas tak pandang bulu # Pasti kuangkat engkau # Menjadi manusia setengah dewa”.
Kesembilan, ketika berkaitan dengan angka, keadilan bisa diukur secara relatif. Kalau punya anak dua, uang jajanan yang adil tentu sama banyaknya. Tetapi kalau kita menyamakan uang jajanan anak yang sudah kuliah dengan anak yang masih di Sekolah Dasar, akan menjadi kurang/tidak adil.
Karena itu, salah satu defenisi keadilah adalah “menempatkan sesuatu sesuai proporsinya”. Dan menentukan suatu proporsi yang ideal memerlukan kearifan. Kira-kira, kearifan seorang pemimpin itulah yang membuatnya dianggal adil.
Kesepuluh, pemimpin adil adalah manusia langka. “Manusia setengah dewa”, kata Iwan Fals. Karena langka, dia tidak hadir dalam setiap periode zaman. Atau hadir pada setiap periode zaman namun terbatas pada wilayah kekuasaan tertentu.
Sebab untuk menjadi pemimpin adil, seseorang harus memiliki keberanian di atas rata-rata, agar dapat: (1) menggebrak tradisi yang terlanjur mapan; (2) mendobrak tembok-tembok kekuasaan informal yang tidak kasat mata, yang biasanya diwakili pelaku bisnis – legal maupun ilegal – dalam suatu komunitas; (3) melawan kelompok politisi kotor, yang sering lebih berkuasa; (4) berhadapan dengan pengkhotbah yang terlanjur terkontaminasi dan nyaman bekerja sama dengan tradisi yang sudah mapan; dan (5) keberanian yang cukup untuk menanggung risiko maksimal: mati.