[caption caption="File pribadi"][/caption]
Dalam menjalankan rezim kekuasaan – baik dalam skala besar, sedang ataupun kecil – para peneliti sering mengutip ungkapan klasik yang dinisbahkan ke Ali bin Abu Thalib: “Penguasa adil meskipun kafir lebih baik daripada penguasa yang Muslim tetapi zalim”.
Artinya setiap argumentasi yang dikemukakan ketika membahas pemimpin dan/atau kepemimpinan, akan berujung pada isu keadilan.
Dan ketika mengkaji soal keadilan pemimpin dan kepemimpinan, ada sejumlah premis yang selalu menjadi rujukan aksiomatik:
Pertama, keadilan sempurna adalah kemustahilan. Kalau digambarkan dalam skala 1 sampai 10, maka keadilan yang dimungkinkan barangkali sampai skala 7 atau 8 saja. Keadilan skala 9 apalagi 10, sangat sulit bahkan nyaris mustahil.
Tentu seorang pemimpin yang bisa berlaku adil sampai skala 7 atau 8, sudah sangat bagus bahkan excellent.
Kedua, konsekuensi lanjutan dari premis pertama, seadil bagaimanapun seorang pemimpin, selalu ada celah untuk menudingnya tidak adil atau kurang adil. Sebab, selain nyaris mustahil menegakkan keadilan secara sempurna (keadilan skala 10), kita pun bisa berdebat kusir, kapan suatu keadilan mencapai skala 7 atau 8. Suatu kebijakan atau program aksi yang saya yakini keadilan skala 8, bisa dinilai orang lain hanya skala 6.
Ketiga, selalu ada dikhotomi antara keadilan hukum dan rasa keadilan. Seorang hakim yang menvonis 5 tahun terhadap koruptor-A yang merugikan Negara senilai Rp10 miliar; lalu di pengadilan lain, hakim yang sama menvonis 3,5 tahun terhadap koruptor-B yang merugikan Negara senilai Rp7 miliar, mengirim sinyal ketidakadilan. Kalau vonis 5 dan 3,5 tahun itu dikaitkan dengan nilai korupsi masing-masing, si hakim pasti akan terkesan tidak adil. Padahal mungkin saja dalam proses litigasi di pengadilan ada pertimbangan-pertimbangan lain yang membuat hakim menjatuhkan vonis yang berbeda.
Keempat, keadilan selalu menjadi rujukan terakhir dan paling menentukan dalam menilai baik-buruknya seorang pemimpin atau sistem kekuasaan. Mungkin fakta seperti inilah yang melatarbelakangi Ali bin Abu Thalib merumuskan ungkapannya yang dikutip di awal artikel ini.
Jika premis keempat ini diujikan terhadap kasus Ahook, Gubernur DKI, kita bisa memahami, meskipun sering dipojokkan dalam soal agamanya, Ahook tetap meraih dukungan signifikan. Sebab, dengan segala keburukannya (antara lain pernyataan verbalnya yang sering judes), Ahook berhasil membuktikan sejumlah praktek nyata keadilan dalam mengelola tata pemerintahan di DKI.
Kelima, keadilan adalah pintu pembuka dan terbaik untuk mencetak kinerja-kinerja terobosan. Artinya, pemimpin yang adil selalu memiliki momentum untuk melakukan suatu prestasi signifikan, yang biasanya sangat sulit dilakukan oleh pemimpin yang tidak adil.