Taktik “jangan biarkan musuh bernapas”
Dua faktor di atas: (1) stok combatan yang siap tempur dan (2) melaksanakan sabda Khalifah, semuanya terpenuhi di Indonesia saat ini, dan jumlahnya lebih dari cukup untuk menerapkan taktik: jangan biarkan musuh bernapas.
Sebagai perbandingan, salah satu “keunggulan” IS di banding Al-Qaeda adalah ritme serangan yang tinggi. Bagi IS, pola dan taktik Al-Qaeda terkesan terlalu selektif memilih target terornya, dan interval antara satu serangan dengan serangan berikutnya terlalu lama.
IS mengubah taktik itu dengan pola serangan yang seintens mungkin, dalam rangka menerapkan taktik: jangan biarkan musuhmu bernapas.
Berdasarkan data rekapitulasi tahunan aksi teror di Irak saja, IS rata-rata melakukan 2 sampai 3 aksi teror setiap hari, dalam berbagai bentuk, terutama penembakan dan bom bunuh diri, baik dilakukan secara simultan ataupun terpisah.
Konsekuensi dari serangan dengan ritme tinggi ini adalah kualitas serangan tidak menjadi pertimbangan utama. Yang penting ada pelaku yang siap mental menjadi eksekutor, lalu dilatih secukupnya cara menggunakan senjata, terus dikirim ke target, dipasangi bom rompi, dan aksi pun berlangsung. Kira-kira itulah yang terjadi dalam serangan di Sarinah Thamrin kemarin, yang konon kurang berkualitas.
Always on red-alert
Dan kalau pola serangan selanjutnya diperkirakan akan menggunakan taktik serangan Sarinah Thamrin, yang sama dengan Teror Paris, berarti semua komponen bangsa ini – from now on – harus menyiapkan mental untuk senantiasa dalam keadaan siaga-1.
Lebih dari itu, kita mungkin harus merevisi ulang semua taktik dan metode pengamanan ruang-ruang publik di setiap kota di Indonesia, dalam rangka mengantisipasi aksi teror. Salah satu alternatifnya memang adalah meningkatkan kuantitas gelar pasukan, yang tampak di ruang-ruang publik, dengan segala konsekuensi ketidaknyamanannya. Itu yang dilakukan oleh Pemerintah Perancis paska Teror Paris 13 Nopember 2015.
Kalau sangat sulit melacak waktu dan lokasi aksi teror (seperti diakui Menko Polhukam Luhut Panjaitan dan Kapolri Badruddin Haiti), maka upaya minimal yang dapat dilakukan adalah mempersempit ruang atau kesempatan bagi pelaku untuk melakukan aksinya, dengan cara menciptakan kesadaran semua pihak tentang perlunya terlibat aktif mencegah aksi teror, di mana pun dan kapan pun.
Intinya, melimpahkan sepenuhnya tugas pengamanan warga kepada aparat keamanan, sudah tidak memadai lagi. Semua komponen dan lini sosial harus terlibat secara aktif.