Syarifuddin Abdullah | Jumat, 15 Januari 2016
Teror Sarinah Thamrin Jakarta pada 14 Januari 2016 adalah gaya dan duplikat Teror Paris secara par excellence. Dengan jumlah pelaku terbatas, dilengkapi senjata dan granat, dipasangi bom rompi, bergerak ke sasaran dengan niat mati syahid, tidak berniat kembali lagi ke rumah, dan karena itu tidak memerlukan alternatif escape.
Perbeaannya hanya pada kualitas serangan dan koordinasi antara eksekutor. Dan kalau benar jumlah penyerangnya yang terlibat langsung hanya tujuh orang, Teror Paris 13 Nopember 2015 juga dilakukan tujuh pelaku langsung. So, era baru ancaman teror telah di depan mata.
Ada dua faktor utama, yang melatarbelakangi kesimpulan bahwa – mulai sekarang dan seterusnya – setiap saat aksi teror dapat terjadi kapan saja di mana saja di Indonesia.
Pertama, stok combatan yang siap tempur
Banyak versi tentang jumlah warga Indonesia yang telah pergi ke Irak/Suriah. Tapi semua lembaga resmi ataupun non resmi, mengamini jumlah yang tidak kurang dari 500 (lima ratus) orang. Sebagian dari jumlah itu sudah kembali ke Indonesia.
Selain itu, banyak combatan Indonesia yang ingin pergi ke Suriah atau Irak, tapi gagal karena faktor dana atau ketatnya administrasi perjalanan, atau tertangkap di luar negeri lalu dideportasi ke Indonesia, sebelum berhasil masuk ke Suriah/Irak. Mereka inilah yang diperkirakan memiliki animo lebih besar untuk menjadi pelaku teror secara langsung.
Dan sekali lagi, karena jumlahnya tidak bisa dipastikan, maka tingkat atau potensi ancamannya lebih mengerikan.
Kedua, melaksanakan sabda khalifah
Seperti diketahui, Abu Bakar Al-Baghdady, Amir IS, sejak 2015 telah memerintahkan semua loyalisnya, di manapun di belahan bumi ini, bahwa untuk melakukan teror tidak harus datang ke Irak atau Suriah. Silahkan melakukannya di negara masing-masing.
Artinya, stok combatan WNI yang banyak itu, yang gagal berangkat ke Suriah dan Irak itu, telah memiliki semacam alasan syar’i (baca: justifikasi ketaatan) untuk melakukan teror di Indonesia, tanpa harus berepot-repot berusaha pergi ke Suriah atau Irak.
Taktik “jangan biarkan musuh bernapas”
Dua faktor di atas: (1) stok combatan yang siap tempur dan (2) melaksanakan sabda Khalifah, semuanya terpenuhi di Indonesia saat ini, dan jumlahnya lebih dari cukup untuk menerapkan taktik: jangan biarkan musuh bernapas.
Sebagai perbandingan, salah satu “keunggulan” IS di banding Al-Qaeda adalah ritme serangan yang tinggi. Bagi IS, pola dan taktik Al-Qaeda terkesan terlalu selektif memilih target terornya, dan interval antara satu serangan dengan serangan berikutnya terlalu lama.
IS mengubah taktik itu dengan pola serangan yang seintens mungkin, dalam rangka menerapkan taktik: jangan biarkan musuhmu bernapas.
Berdasarkan data rekapitulasi tahunan aksi teror di Irak saja, IS rata-rata melakukan 2 sampai 3 aksi teror setiap hari, dalam berbagai bentuk, terutama penembakan dan bom bunuh diri, baik dilakukan secara simultan ataupun terpisah.
Konsekuensi dari serangan dengan ritme tinggi ini adalah kualitas serangan tidak menjadi pertimbangan utama. Yang penting ada pelaku yang siap mental menjadi eksekutor, lalu dilatih secukupnya cara menggunakan senjata, terus dikirim ke target, dipasangi bom rompi, dan aksi pun berlangsung. Kira-kira itulah yang terjadi dalam serangan di Sarinah Thamrin kemarin, yang konon kurang berkualitas.
Always on red-alert
Dan kalau pola serangan selanjutnya diperkirakan akan menggunakan taktik serangan Sarinah Thamrin, yang sama dengan Teror Paris, berarti semua komponen bangsa ini – from now on – harus menyiapkan mental untuk senantiasa dalam keadaan siaga-1.
Lebih dari itu, kita mungkin harus merevisi ulang semua taktik dan metode pengamanan ruang-ruang publik di setiap kota di Indonesia, dalam rangka mengantisipasi aksi teror. Salah satu alternatifnya memang adalah meningkatkan kuantitas gelar pasukan, yang tampak di ruang-ruang publik, dengan segala konsekuensi ketidaknyamanannya. Itu yang dilakukan oleh Pemerintah Perancis paska Teror Paris 13 Nopember 2015.
Kalau sangat sulit melacak waktu dan lokasi aksi teror (seperti diakui Menko Polhukam Luhut Panjaitan dan Kapolri Badruddin Haiti), maka upaya minimal yang dapat dilakukan adalah mempersempit ruang atau kesempatan bagi pelaku untuk melakukan aksinya, dengan cara menciptakan kesadaran semua pihak tentang perlunya terlibat aktif mencegah aksi teror, di mana pun dan kapan pun.
Intinya, melimpahkan sepenuhnya tugas pengamanan warga kepada aparat keamanan, sudah tidak memadai lagi. Semua komponen dan lini sosial harus terlibat secara aktif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H