[caption caption="Makam Nabi Hud"][/caption]Ke arah timur dari Kota Tarim – yang terletak di wilayah Hadramaut, bagian timur Yaman – lokasi makam yang diyakini oleh warga sekitar sebagai makamnya Nabi Hud as itu, dapat ditempuh dengan mobil sekitar 90 menit. Kendaraan menyusuri jalur utama – yang menghubungkan antara Tarim dan perbatasan Yaman-Oman – terus kendaraan keluar dari jalur utama, berbelok ke jalan tidak beraspal, melewati celah-celah gunung yang berabu, sambil terus mengikuti arah panah yang menunjuk kearah “Kuburan Nabi Hud as”.
Begitu tiba di lokasi makam pada 12 April 2015 (bertepatan 22 Jumadil Tsani 1436H), mata saya langsung dihadang pemandangan aneh, nyaris seram: kuburan Nabi Hud itu dikepung sekitar 500-an unit bangunan berupa rumah, penginapan, toko, masjid, dan lapak berbagai ukuran, tapi tak terlihat satu orang pun manusia. Lokasi itu tidak berpenghuni, lengang dan kosong melompong. Lebih aneh lagi, semua bangunan terlihat cukup terawat. Suasananya benar-benar kota mati (kayaknya, bagus untuk lokasi syuting film horror atau serial program penampakan).
Menurut keterangan pemandu, “Warga Yaman atau dari negara Arab lainnya datang ke kuburan Nabi Hud hanya sekali setiap tahun, pada bulan Sya’ban. Peziarah menginap di sini selama satu minggu”. Selama sepekan itu, suasananya sangat ramai. Karena tidak kebagian tempat, banyak peziarah yang terpaksa tidur di ruang terbuka dengan menggelar karpet atau matras. Habis itu, lokasi ini kembali menjadi kota mati, sampai bulan Sya’ban tahun berikutnya. Sepi nyaris seram.
Saya tanya, “Kenapa di bulan Sya’ban?” | “Saya juga tidak tahu, pak. Waktu ziarah di bulan Sya’ban ini, sudah menjadi tradisi entah sejak zaman kapan”.
Di tengah kepungan gedung-gedung itu, saya mencermati posisi kuburan Nabi Hud terlihat seperti menempel pada lereng gunung (lihat foto).
Kondisi dan ukuran kuburnya juga unik bahkan tidak normal untuk sebuah kuburan: karena posisi kepala Nabi Hud lebih rendah - berada di bagian bawah gunung, sementara ujung kakinya menjulang ke atas mengikuti kemiringan gunung. Kalau digambarkan, posisi jenazah terlihat seperti seorang yang sedang berbaring terlentang sambil menggantungkan kakinya di kursi, dengan kemiringan sekitar 30 derajat.
Di sekitar makam Nabi Hud terlihat beberapa makam kecil, berukuran normal, seperti lazimnya ukuran kuburan di Indonesia.
[caption caption="Kuburan kecil di samping makam Nabi Hud"]
Saya lalu membayangkan posisi pinggang dan pinggulnya, panjang paha dan diameter betisnya, besaran telapak kaki dan jari-jarinya, terus Nabi Hud itu pake alas kaki jenis apa. Agar kehidupan berlanjut melalui keturunan, Nabi Hud juga tentu punya istri yang mestinya seukuran tubuhnya. Besaran ranjangnya ketika tidur (kalau pake ranjang). Saya tidak bisa membayangkan bobot berat Nabi Hud.
Untuk sarapan pagi, kalau hanya satu ekor domba, mungkin belum nendang. Bila mendaki gunung, Nabi Hud hanya perlu beberapa langkah saja untuk sampai ke puncak. Terus pikiran usil saya juga membayangkan panjang & diameter batangan alat vitalnya, xi, xi, xi, dst, dst, dst...
Seorang teman kemudian bergurau dengan nada serius: mungkin Nabi Hud terjatuh dari puncak gunung, lalu tewas. Karena saking besarnya, dan kesulitan mengangkat & menggesernya, akhirnya umatnya sepakat menguburkan di titik yang kini diyakini sebagai makamnya itu (memang ada riwayat yang menyebutkan bahwa semua nabi dikuburkan di titik di mana dia menghembuskan napas terakhirnya).