Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Ayah

12 November 2015   09:20 Diperbarui: 12 November 2015   09:46 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena tidak ada catatan pasti tanggal kelahirannya, kami putra-putrinya memperkirakan usianya masih kurang dari 40 tahun ketika ayah wafat empat puluh tahun lalu, 1975. Di rumah, kami memanggilnya Pua’ (Bahasa Mandar = ayah).

Usiaku baru 9 tahun, duduk di kelas tiga SD, ketika ayah wafat. Masih ingat persis, dari lima anaknya, sayalah yang paling menangis, meronta-ronta, hampir mengamuk, karena menyadari akan kehilangan ayah untuk selama-lamanya. Sepeninggal ayah, Amma’-lah yang membesarkan kami semua.

Dokumentasi foto-foto ayah amat langka. Foto yang ada pun hitam putih, dengan gambar yang sudah buram. Tidak ada satupun foto yang memperlihatkan detail garis-garis di raut muka ayah. Sesekali memang, misalnya di hari Idul Fitri, ayah memanggil tukang foto kampung, untuk mengabadikan moment Idul Fitri, berfoto rame-rame.

Ayah, entah mengapa tiba-tiba saya mengingatmu begitu rupa, sampai akhirnya memutuskan menulis semacam surat terbuka ini kepadamu di akhirat. Saya ingin mengabari bahwa memang kadang aku lupa mendoakanmu. Namun di saat ingat, aku mendoakanmu setulus-tulusnya, sedemikian rupa sampai saya yakin seyakin-yakinnya Allah mengabulkannya.

Karena ayah wafat ketika kami putra-putrimu masih kecil, kami memang tidak lama merasakan bimbingan langsung dan kasih sayangmu, sebagai ayah. Makanya, saya kadang “cemburu” melihat orang-orang seusiaku, dan ayah-ibunya masih hidup.

Namun ada moment-moment tertentu yang masih teringat detail kejadiannya: Rumah kami di kampung tidak punya WC, semua warga mandi di sungai. Di pagi atau di sore hari, saat pergi ke sungai untuk mandi, ayah kadang menggendongku dengan cara mendudukkanku di salah satu bahumu, dan sambil bercanda ayah berkata: “Pu’din, ayah tidak akan memegangmu. Pegangan sendiri biar kamu tidak jatuh”. Dan benar, dia tidak memegangku, yang membuatku seperti berjibaku bertahan memperbaiki posisi dengan cara memeluk erat kepalanya, sambil berpegangan di telinganya atau rambutnya. Dan tampaknya, ayah sangat menikmati ketika saya melakukan “gerakan-gerakan takut jatuh dari bahunya”.

Ah, seandainya pun Ayah masih hidup, belum banyak yang ayah dapat banggakan tentang anakmu ini. Namun kemanapun pergi dan apapun yang saya lakukan, ayah selalu bersamaku dan berharap ayah bangga melihatku.

Ayah, kini saya sudah berusia lebih tua dibanding usiamu ketika wafat. Aku pun juga telah menjadi ayah untuk anak-anakku. Dan sampai kini pun, masih terus berupaya dan belum yakin apakah saya bisa menjadi ayah seperti engkau menjadi ayahku.

Ayah, aku merindukanmu.

Senin, 24 Agustus 2015 | Syarifuddin Abdullah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun