(1)
Pada 23 April 2014 – atau sekitar tiga bulan sebelum Pemilu Presiden 09 Juli 2014 – saya menulis status pendek di akun Twitter (@syarif2015): “Percaya deh, gak jauh beda pilih Jokowi, Prabowo, ARB, Dahlan Iskan untuk RI-1. Pengalaman 4 presiden di Era Reformasi membuktikan itu”.
Pesannya: bahwa siapapun nantinya yang menjadi Presiden pada Pilpres 2014, persoalan negeri ini tidak akan jauh bergeser. Semua capres pasti tidak akan mampu memenuhi semua janji-janjinya selama masa kampanye.
Ketika akhirnya masuk di bilik suara pada 9 Juli 2014, terus terang, saya akhirnya tidak memilih Jokowi. Tapi memilih Prabowo Subianto – dengan alasan yang menurut saya sangat rasional ketika itu – juga bukannya tanpa risiko.
Namun, dengan asumsi bahwa siapapun yang saya pilih, ketika itu, toh pada akhirnya tidak akan jauh beda hasilnya. Artinya, pilihan saya dan juga pilihan Anda menjadi tidak terlalu penting.
Singkat cerita, kita tahu, Jokowi akhirnya dinobatkan sebagai Presiden RI pada Oktober 2014, dan saya tidak kecewa sama sekali. Dan karena taat konstitusi, kita menerimanya sebagai Presiden yang sah.
Sekitar 8 bulan setelah Pilpres 2015, tepatnya pada 17 Februari 2015, di akun Facebook, saya kembali mengutip status di Twitter tersebut dan menambahkan kalimat ini: “Dan itu terbukti sekarang dalam kasus Polri-KPK. “Jadi, lain kali jangan mudah tersihir dengan pesona popularitas”. Kalimat status ini merujuk pada kisruh pengangkatan Kapolri yang menguras energi nasional, yang sebenarnya tidak perlu.
Pesannya, siapapun yang memilih Jokowi karena terpesona pada popularitasnya, mungkin terpaksa harus kecewa, dan yang bukan pemilihnya, lebih kecewa lagi.
Jokowi bukanlah sosok yang mampu menyelesaikan segala persoalan dalam satu tahun. Dan akan salah besar juga bila saya mengatakan, misalnya, persoalan bangsa ini akan tuntas-tas-tas dalam periode satu tahun, bila seandainya Presidennya Prabowo Subianto. Sebab sekali lagi, “Percaya deh, gak jauh beda”.
(2)
Kalau kita merujuk ulang berbagai teori kepempimpinan, lazim disebutkan bahwa seorang pemimpin – siapapun dia, termasuk Jokowi – tidak mungkin sukses dalam segala bidang, dan mustahil bisa memenuhi semua janji-janjinya. Ini common sense, Bung.
Karena itu, ketika merumuskan paket janji semasa kampanye, mestinya bukan hanya mengacu pada idealisme semata, tapi janji-janji itu harus realistis: kalau ada sembilan program janji (Nawa Cita), berarti harus memiliki rencana aksi yang relatif utuh untuk merealisasikan paling kurang tiga dari sembilan program unggulan itu, dalam waktu yang relatif bisa diukur.
Tiga program unggulan itulah yang dimaksimalkan. Sehingga kalau pun “gagal” di enam program/janji lainnya, sang pemimpin bisa mengatakan: kan sudah bagus di tiga program, enam program sisanya masih dalam proses. Dengan jawaban begitu, publik bisa memahami.
Tapi kalau ke sembilan program/janji mandek semuanya, dan/atau tidak terasa di mata publik, jangan salahkan bila publik menilai: “Anda adalah pemimpin yang gagal”.
(3)
Belakangan, setiap kali memperhatikan mimik dan gesture Jokowi di layar televisi selama satu tahun pertama ini, saya sering punya kesan begini: orang ini tidak memiliki karakter untuk menjadi seorang pemimpin sekelas Presiden untuk sebuah negara sebesar Indonesia.
“Wong Ndeso, yang kerempeng itu” (ini ungkapan Jokowi sendiri), gaya jalannya saja sering mengirim pesan tidak pede; senyumnya tidak mengirim pesan ketegasan; pernyataan publiknya sering tidak terstruktur, makanya, sering dituding tidak konsisten. Tapi saya suka jidatnya yang bergaris-ombak, kata para ahli gesture, itu alamat seorang pemikir serius dengan persoalan yang sedang dihadapinya.
Namun giliran melakukan blusukan, Jokowi muncul sebagai seorang yang genuine. Karakter wong ndesonya benar-benar telanjang dan ingin menyelami persoalan anak bangsa. Dan secara pribadi, saya tidak melihat upaya Jokowi untuk memberikan kesan pencitraan setiap kali melakukan blusukan (mungkin saya salah).
Tapi buat saya, seandainya pun kegiatan blusukan itu dilakukan untuk pencitraan, lantas di mana salahnya?
(4)
Karena kita hidup di era kapitalisme, maka salah satu indikator utama kesuksesan seorang kepala negara akan mengacu pada indikator ekonomi kapitalis. Itupun umumnya lebih banyak di bidang ekonomi moneter, yang notabene, tidak “terkait langsung” dengan ekonomi riil (tingkat pasar tradisional), tapi secara jangka panjang berpengaruh besar pada ekonomi riil.
Maka begitu nilai kurs Rembang Pati (Rp) menembus angka Rp14.000 per 1 USD, Jokowi otomatis diposisikan gagal. Tidak ada pilihan lain. Wong, tolok ukurnya memang mengacu pada ekonomi moneter. Dari sederet indikator moneter: inflasi, angka pertumbuhan, indeks pasar saham, yang paling langsung terasa dan mudah melihatnya adalah nilai tukar.
Maka seikhlas bagaimanapun kegiatan blusukan itu, tidak akan berpengaruh signifikan terhadap jatuhnya nilai tukar rupiah. Kegagalan di bidang moneter ini makin menjadi-jadi, karena publik akhirnya membandingkan dengan periode sebelumnya (SBY), yang relatif sukses mempertahankan nilai kurs Rembang Pati.
Padahal, di bidang moneter ini, para pengeritik Jokowi juga paham (cuma kadang pura-pura lupa) bahwa pemain di pasar valuta, bukan cuma pemain nasional. Ini era global, Bung. Nilai kurs mata uang negara tertentu, tidak sepenuhnya lagi bisa dikendalikan oleh pemerintah. Tetapi blunder juga kalau ada menteri Jokowi yang mengatakan, soal kurs Rembang-Pati bukan tanggung jawab Jokowi.
Kalau dikatakan, pemerintahan sebelumnya terbukti bisa menahan anjloknya nilai tukar. It’s ok. Ini fakta. Tapi mestinya kita juga langsung mempertanyakan, berapa triliun rupiah-kah yang dikorbankan (hilang sia-sia) hanya untuk menahan gempuran terhadap rupiah, selama dua periode kepresidenan SBY? (setahu saya, belum pernah ada kajian atau publikasi yang serius terkait pertanyaan ini).
(5)
Sejak terpilih menjadi Presiden RI ke-7, saya tidak pernah tertarik mendukung dan/atau menentang Jokowi dengan meledak-ledak, menggebu-gebu. Tapi kalau saat ini ada kelompok yang menuntut Jokowi mundur, mohon maaf, saya belum mau ikut, minimal sampai genap tahun kedua (Oktober 2016).
Sebab kalau benar dia adalah wong ndeso yang genuine, Jokowi pasti mendengar dan memperhatikan segala kritikan, dan selanjutnya akan berusaha maksimal untuk memperbaiki dan meluruskannya. Saya masih percaya itu.
Maka, Jokowi dan kabinetnya masih layak didorong agar terus memperbaiki kinerja dan tidak sibuk mengurusi hal-hal sepele, yang kadang menguras energi lebih dari semestinya.
Lagi pula, mengganti Jokowi dengan figur lain, meskipun memiliki alasan rasional, bagi saya terlalu mahal harganya. Untuk itu saya kembali mengutip status saya di Twitter pada 23 April 2014 (@syarif2015): “Percaya deh, gak jauh beda pilih Jokowi, Prabowo, ARB, Dahlan Iskan untuk RI-1”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H