Mohon tunggu...
Sabdo UtomoGumilang
Sabdo UtomoGumilang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Cuman mas-mas biasa yang suka nulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Cerminan Budaya Feodalisme dalam Gaya Hidup Pejabat dan Pajak

31 Desember 2024   14:30 Diperbarui: 31 Desember 2024   14:03 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Budaya Feodalisme sendiri dimulai sejak manusia mulai memiliki rasa kepemilikan akan suatu hak tertentu atau suatu kawasan. Budaya ini sangat erat kaitannya dengan sistem monarki karena budaya inilah yang menciptakan sistem monarki itu sendiri. Sistem Monarki untuk lebih mudahnya bisa dipahami sebagai sistem kerajaan, dimana dalam sistem tersebut tentu yang terlintas dipikiran setiap orang salah satunya mengenai kehidupan para bangsawan yang bergelimang harta dan hidup dalam kemewahan. Harta dan Gaya hidup mewah itu sendiri bersumber dari kekayaan yang diperoleh dari masyarakat yang  membayar upeti kepada pihak kerajaan, kalau sekarang bukan upeti lagi namanya, namun pajak.

Di Era Demokrasi saat ini walaupun sistem monarki sudah mulai ditinggalkan. Budaya Feodlisme bisa tercermin melalui gaya hdiup pejabat publik saat ini seakan-akan  budaya feodalisme sudah tertanam dalam alam  bawah sadar  antar generasi. Dimana seharusnya dalam kehidupan demokrasi pejabat publik menjadi pelayan masyarakat justru seolah-olah menjadi penguasa akan suatu hak tertentu, jika di era monarki suatu orang/kelompok merasa berkuasa akan suatu kawasan, di era demokrasi justru merasa berkuasa akan suatu hak tertentu. Gaya hidup para pejabat publik hari ini mencerminkan tidak kompetennya mereka dalam memahami konteks dalam kehidupan berdemokrasi dan membungkus budaya feodalisme dengan gaya baru (Neo-Feodalisme) untuk mempertahankan status quo dan posisinya sebagai pejabat publik.

Foto Fasilitas Mobil Mewah Para Pejabat (Sumber: www.youtube.com)
Foto Fasilitas Mobil Mewah Para Pejabat (Sumber: www.youtube.com)

Gaya hidup mewah para pejabat ini tidak ada bedanya dengan gaya hidup mewah para bangsawan zaman dahulu dimana harta bendanya bersumber dari upeti masyarakat. Di zaman sekarang, gaya hidup para pejabat ini disinyalir dari "upeti" atau dizaman ini disebut "pajak". Pajak yang seharusnya dan hakikatnya berdasarkan undang-undang kembali kepada masyarakat, justru digunakan oleh sejumlah para pejabat korup untuk memuaskan hasrat pribadi bergaya hidup mewah atau glamor. Banyak para pejabat menggunakan uang yang bersumber dari Pajak masyarakat bermewah-mewahan dengan membeli barang-barang mahal agar terlihat seperti bangsawan zaman dulu. Banyak kasus yang mencerminkan Neo-Feodalisme seperti hal itu, misal pada tahun 2022 DPR mengusulkan pengadaan korden seharga kurang lebih Rp 43,5 miliar untuk rumah dinas para anggotanya, lalu ada kasus yang melibatkan anak dari mantan dirjen pajak rafael alun trisambodo yakni mario dandy yang hidup mewah-mewahan dan terlibat kasus pengeroyokan terhadap anak pengurus pusat GP Ansor  yakni David Ozora, dan masih banyak lagi kasus yang memperlihatkan gaya hidup mewah atau hedonisme.

Hal-hal tersebut tentu melukai hati para masyarakat yang membayarkan pajak mereka kepada negara dengan harapan akan mendapatkan feedback atau imbalan yang sesuai melalui pelayanan publik yang memadai seperti kesehatan, pendidikan transportasi umum dan lain sebagainya. Justru disalahgunakan oleh sejumlah para pejabat publik yang tidak tahu malu untuk bergaya hidup hedon dan mementingkan kepentingan pribadi. Padahal hakikatnya para pejabat tersebut merupakan pelayan dan pengabdi masyarakat justru menikam masyarkat dari belakang.

Hal ini diperparah oleh wacana pemerintah (yang tentu isinya pejabat publik dan sekelompok elit politik) untuk menaikan PPN menjadi 12% yang tentu menambah penderitaan masyarakat terutama kalangan menengah kebawah yang akan makin sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari terutama kebutuhan pokok. Kenaikan PPN ini juga dinilai sejumlah ekonom akan menimbulkan inflasi jangka pendek yang lama kelamaan akan berujung deflasi . Kondisi terbilang cukup ekstrem karena akan memperburuk ketidakstabilan eknomi dalam negeri. Meroketnya harga  kebutuhan pokok akan memicu inflasi dan lama-lama menimbulkan deflasi, yakni menurunkan daya beli masyarakat hingga membuat produsen mau tidak mau menurunkan harga untuk merangsang kembali daya beli masyarakat.

Kondisi dan Situasi seperti ini tentu membuat masyarakat sengsara dan semakin terpuruk dan jatuh dalam jurang kemiskinan hingga suatu saat si miskin tidak akan memiliki apapun untuk dimakan kecuali si Kaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun