"Perasaan elu dulu sma nya A3, Jat bukan A4?" (Verdy Rusli)
"Abis si jujur itu suka angkuh, suka menolak penyesuaian dan kompromi, sehingga ketika keduanya datang dia jadi 'asing' dan diam... padahal harusnya dia lihat hidup juga adalah kompromi dan penyesuaian." (Rafita Ribelfinza)
"Emangnya kita bisa jadi manusia jujur bro?? Kalo bener jujur, kita nggak bakal jadi orang kaya." (Herizal Batubara)
Tidak ada yang salah dengan semua komentar di atas, karena ketika aku menulis pertanyaan dalam Facebook-ku, tidak ada maksud untuk mencari kebenaran atas kesepiannya kata "Kejujuran". Oleh karenanya tidak perlu juga dipersalahkan ketika aku menjawab komentar-komentar tersebut dengan kalimat; "Terima kasih atas semua komentar bro dan sis yang jujur dalam versinya masing-masing. Apa yang anda tulis sesungguhnya adalah cerminan diri anda sendiri dalam menilai sebuah kata 'Kejujuran' " . Atau ketika aku menjawab, "Hahaha... satu lagi nih bukti bahwa kata 'kejujuran' benar-benar udah gak punya sahabat... Ok, bro... be yourself and goodluck!!"
Sekali lagi aku tegaskan, (paling tidak menurut pendapatku) bahwa tidak ada yang salah dengan semua komentar sahabatku di atas, juga tidak berarti bahwa mereka adalah orang-orang yang anti dengan kejujuran. Namun setidak-tidaknya komentar mereka membuat aku berpikir, apakah memang kejujuran benar-benar telah menjadi kata yang kesepian dan terasing di tengah gemerlapnya dunia yang sangat materialistis.
Tidak sedikit manusia yang memiliki pola pikir aji mumpung. Mumpung punya jabatan, mumpung punya kekuasaan, mumpung punya kesempatan, sehingga manusia tersebut menghalalkan segala cara untuk memuaskan nafsu dunianya. Nafsu untuk memperoleh jabatan, nafsu untuk memperoleh kekayaan, nafsu untuk terkenal, dan nafsu keduniawian lainnya.
Lantas, jika kemarin, hari ini bahkan mungkin esok hari, kita masih melihat dan mendengar pengkhianatan amanah dari para pejabat negeri ini, apakah kita harus menjadi apatis? Apakah kita harus mengikuti barisan mereka, ketika secara bersama mereka mengumbar syahwat duniawinya? Tilap sana tilap sini, rampok sana rampok sini, korupsi sana korupsi sini, jarah sana jarah sini? Kongkalikong? Berdagang dari amanah? Astagfirullah aladzim...
Islam mewajibkan umatnya untuk mencari nafkah secara terpuji sesuai dengan firman ALLAH SWT. "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan cara batil." (Q.S. Al-Baqarah: 188).
Dalam hidup yang hanya satu kali ini, mari manfaatkan amanah hanya untuk menggapai ridho Allah SWT. Zuduh adalah sikap hidup yang tidak rakus terhadap hal-hal yang bersifat duniawi, seperti materi atau jabatan. Orang yang zuhud disebut zahid, adalah orang yang mencari keuntungan di jalan Allah SWT. Bagi mereka tidak ada kebahagiaan lain, kecuali selalu dekat dengan ALLAH SWT.
Allah pun telah menyampaikan bahwa ciri-ciri orang munafik adalah apabila bicara berbohong, apabila berjanji mengingkari, dan apabila dipercaya berkhianat. Kehidupan orang-orang munafik digambarkan sebagai, "Mereka hendak menipu Allah SWT dan orang-orang beriman, padahal mereka menipu diri sendiri tanpa mereka sadari." (Q.S. Al Baqarah: 9).
Kejujuran mungkin memang telah kehilangan harga diri dan menjadi kata yang kesepian. Kita sebagai manusia sesungguhnya punya pilihan, menjauh dan mengucilkan kejujuran atau bersahabat dan berjalan beriringan dengan kejujuran itu?