Setiap puisi yang ditulis selalu memiliki makna tersendiri. Untuk mendapatkan makna dari sebuah majas di dalam puisi terkadang kita mesti membacanya berulang-ulang. Aspek yang menunjang kita untuk memperoleh makna tersebut adalah penghayatan, pengetahuan, dan pengalaman. Sebab puisi tidak selalu mendeskripsikan apa yang tersurat tetapi juga apa yang tersirat. Sehingga aspek-aspek tersebut menjadi alat bantu bagi kita untuk menafsirkan dan memperoleh makna yang terkandung di dalam nya.
Puisi kali ini berjudul "Rumah yang Rengkah". Diksi rumah disini merupakan sebuah metafora. Sebagaimana yang kita ketahui, rumah sangat identik dengan tempat tinggal atau tempat menetap. Oleh karena itu pemakaian kata rumah di dalam puisi ini dialamatkan pada sebuah rumah bagi rasa yang menyala. Ketika sebuah rumah yang anda huni sedang rengkah lalu bala tentara hujan datang mengguyur, tentu ada rasa tidak nyaman atau bahkan anda potensial meninggalkan rumah tersebut. Begitulah kilas cerita dalam puisi ini.Â
Singkat cerita, sebongkah rasa sakit datang tiba-tiba untuk menyayat hati yang sedang baik-baik saja. Ia menggerogoti asa dan kian melemahkan genggaman di dalam sebuah hubungan. Sebagaimana yang lazim terjadi, setiap hubungan pasti akan menjumpai konflik dan rasa sakit. Namun impact dari rasa sakit itu adalah kegentingan. Ya sebagaimana orang-orang mengatakan nya "sejengkal menuju perpisahan.Â
Akan tetapi ia mengalami ambivalensi. Antara berdamai dengan rasa sakit atau mengakhiri alur cerita dari rasa yang sedang berada dipuncak menara. Sehingga polemik nya menghadiahkan dilema yang cukup akut. Tak berdaya menahan rasa, tak kuasa mendengungkan pisah. Akhir dari keheningan yang berlarut-larut ini menghantarkan ia pada sebuah jembatan, Yaitu sebuah jembatan untuk mengobati rasa sakit. Ia hanya bisa berharap semoga masih ada seberkas cahaya di angkasa raya sana untuk bertahan pada rumah yang telah dibangun bersama. Berikut adalah aksara kata yang terlampir dalam bentuk puisi :
LAGI-LAGI HUJAN MEMPORAK-PORANDA KAN SEISI RUMAH.Â
MENGGEROGOTI PONDASI YANG TELAH ABSAH.
PADAHAL JIWA DAN RAGA BARU INGIN MENGHUNI DENGAN BETAH.
TAPI HUJAN LEBIH DAHULU DATANG MENGGELEDAH.Â
MENEPIS APA SAJA YANG MENJADI INGIN KU YANG TERCURAH.
MEMBANTING ASA KU YANG KIAN CERAH.
SERAYA MENENGGELAMKAN HARAP YANG SEDANG MEGAH.
BAGAIMANA MUNGKIN PIKIRAN KU TIDAK TERBELAH.Â
JIKA RUMAH YANG MENJADI AMANAH.Â
MESTI BERTABUR HUJAN DI ALAM SANGGAH.
TAK MUNGKIN JUA MASIH TERDAPAT CELAH..Â
JIKA AKU TELAH TERTANGKAP BASAH. Â MENJADI TAWANAN YANG TAK MUNGKIN DAPAT MEMBANTAH.
SEHINGGA KEHENINGAN BERBUMBU SUNYI MENJADI BINGKISAN YANG MEMBUAT MUNTAH.
PADAHAL KESUNYIAN ADALAH NERAKA YANG PALING BERGEJOLAK DI SEPANJANG DENAH.Â
TAPI IRONIS NYA, KAU KIRIM KAN BINGKISAN NYA DENGAN SENGAJA SEBAGAI HADIAH.
APAKAH MUNGKIN KATA MAAF AKAN MEMBANGKITKAN GAIRAH.
JIKA SAYATAN NYA TELAH LEBIH DULU MENGUNDANG DARAH.
APAKAH MUNGKIN JUA KATA BERBENAH DAPAT MENYELAMATKAN SEISI RUMAH.Â
JIKA PENGHUNI NYA MENDAMBAKAN KERUNTUHAN UNTUK MENJAMAH. KEPADA HUJAN YANG MASIH MENJAJAH.
REDA LAH BERSAMA SAKIT YANG MEREKAH.
AGAR SEGALA LELAH YANG KU TIMANG DENGAN SUSAH PAYAH.
DAPAT MENJADI ANUGERAH YANG MENIKAM MUSIBAH MENUJU MUSNAH.Â
RAMAH LAH HARI, REDA LAH PISAH.
Febri Trifanda
Timpeh, 22 Januari 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H