Mohon tunggu...
Sabda Hartono
Sabda Hartono Mohon Tunggu... Desainer - hobbyist elektronika

Founder www.catur-digital.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jessica dan Paradoks Sang Pembela

2 November 2016   16:21 Diperbarui: 2 November 2016   16:43 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diagram Venn 1 (koleksi pribadi)

Pebrianov dan Jati Kumoro setuju dengan aturan lomba, kecuali Sabda Hartono. Sebagai seorang filsuf Sabda Hartono sudah tahu bahwa lomba ini tidak mungkin ada pemenangnya, sampai kapanpun, jarak kontestan dan DesoL tidak mungkin nol centimeter. Sabda Hartono mengetahui hal tersebut dari Zeno orang Yunani.. Ikut lomba seperti ini hanya buang-buang waktu saja, pikir Sabda Hartono. Tetapi kalau tak ikut lomba, Sabda Hartono gengsi.Akhirnya Sabda Hartono pun setuju ikut lomba paling aneh sedunia ini.

Perlombaan pun dimulai: Babak pertama kontestan berjarak 8 meter dari DesoL, kemudian maju setengah perjalanan sekarang jaraknya jadi 4 meter dari DesoL. Maju lagi setengah perjalanan kini berjarak 2 meter. Selanjutnya, jarak kontestan pun semakin dekat 1 meter dan......50cm!

Jarak Pebrianov dan kawan-kawan sangat dekat dengan DesoL, sekarang hanya 50 cm saja! Ini membuat DesoL harap-harap cemas. Dan,,,, babak selanjutnya maju setengah perjalanan, sekarang jaraknya sangat-sangat dekat 25cm. Pebrianov pun nyosor mencium DesoL mereka pun berciuman dengan mesra. Jati kumoro dan Sabda Hartono hanya bisa melongo plus cemburu melihat mereka berdua unjuk kemesraan. Akhirnya DesoL dan Pebrianov pergi sambil bergandengan tangan menghilang dari pandangan 2 orang pecundang yang juga bloger kompasiana ini.

"Prof. Pebrianov main kayu, nih!, aturannya jaraknya kan harus nol, 25 cm menurut keyakinan saya belum nol prof!", Keluh Jati Kumoro yang juga seorang Hakim. Memang demikianlah karakter hakim, bertindak menurut aturan main, keyakinan dan fakta. Kitapun harus maklum dengan Pebrianov yang arsitek/seniman itu. Seorang seniman biasa bebas berekspresi dan sering menabrak aturan. Lihat bagaimana Pebrianov berperilaku nyeleneh: Lupa pakai celana!

Itulah paradoks Zeno yang dihidupkan kembali setelah ribuan tahun terkubur. Paradoks itu bisa berwujud cerita lucu-lucuan tentang seorang gadis dengan tiga pacarnya. Paradoks Zeno digunakan sebagai cerita komedi tidaklah menjadi soal, tetapi menjadi masalah cukup serius ketika berubah gendre menjadi cerita tragedi nan pilu, mencabik-cabik rasa keadilan masyarakat. Dan celakanya di era digital ini cerita tersebut menjadi viral di tengah masyarakat. Cerita paradoks Zeno bergendre tragedi itu misalnya berjudul: gara-gara Jessica nangis tidak mengeluarkan ingus, hakim memvonis Yessica 20 tahun penjara!

Kita boleh tertawa sambil guling-guling, mentertawai kekonyolan paradoks Zeno. Kita menyadari paradok Zeno keliru. Pergi ke suatu tempat tak mungkin sampai tujuan sampai kapanpun?? Tak masuk akal, tak sesuai pengalaman sehari-hari. Ironinya kalau paradoks Zeno berubah bentuk menjadi masalah hukum, kita tidak menyadari bahwa itu adalah paradoks, kita menyangka itu adalah kebenaran!!!! Hal tersebut dapat kita maklumi karena masalah hukum lebih abstrak dibanding dengan masalah bepergian ke suatu tempat. Paradoks Zeno sempat membingungkan negri Yunani hampir seribu tahun. Tetapi yang lebih nyesek di dada adalah: paradoks Zeno di bidang hukum telah berhasil membuat jutaan orang di negri Endonesah menjadi galau.

Sesat pikir paradoks Zeno adalah: tidak menyadari setiap selesai melakukan setengah perjalanan, jarak kita semakin dekat dengan tujuan. Dalam bidang hukum, sesat pikir itu adalah: tidak menyadari bahwa bukti baru yang saling bersesuaian akan meng-update keyakinan kita menjadi semakin yakin (keraguan menjadi semakin hilang).

Zeno benar, calon pacar DesoL "tidak mungkin" berhasil mencium DesoL karena ada dikotomi yakni setengah dari sisa perjalanan. Namun ternyata sisa perjalanan itu makin lama-makin kecil. Suatu ketika jarak DesoL dan Jati kumoro cuma setengah centimeter. Sebagai Hakim Jati Kumoro boleh yakin jarak yang cuma setengah centimeter adalah "nol" dan boleh mencium DesoL.

Zeno benar, keraguan tidak mungkin nol, karena adanya dikotomi terhadap bukti. Dengan demikian haruslah diakui hakim bisa salah dalam menjatuhkan vonis. Tetapi hakim tidak boleh main kayu, keraguan harus sekecil mungkin. Inilah buah simalakama untuk hakim. Kalau hakim hanya boleh menghukum orang yang tertangkap tangan, akan terlalu banyak orang jahat bebas berkeliaran. Asas inilah yang digunakan hakim di seluruh dunia, di sepanjang sejarah peradaban manusia!

**********

Sebenarnya saya ingin mengakhiri artikel ini disini, tetapi saya takut dituduh menulis artikel ngawur, bukan kebenaran ilmiah. Tdaklah mudah memberi penjelasan ilmiah untuk masalah ini, sesorang harus menguasai teori kemungkinan (salah satu cabang matematika). Apapun itu, saya harus dapat menjelaskan sebaik mungkin dan sesingkat mungkin pada ruang yang sangat terbatas ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun