Hak asuh anak merujuk pada hak dan tanggung jawab orang tua atau wali untuk merawat, mendidik, dan melindungi anak-anak mereka. Ini adalah aspek penting dalam hukum keluarga yang menetapkan kewajiban orang tua terhadap anak-anak mereka. Hak asuh anak mencakup berbagai hal, termasuk pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti makanan, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, serta memberikan dukungan emosional dan moral.
Dalam situasi perceraian atau pemisahan, hak asuh anak sering menjadi isu sentral. Pengadilan biasanya berupaya untuk menentukan pengaturan terbaik bagi anak-anak, yang dapat mencakup hak asuh bersama (di mana kedua orang tua berbagi tanggung jawab merawat anak), hak asuh tunggal (di mana satu orang tua memiliki tanggung jawab utama atas anak), atau pengaturan khusus lainnya berdasarkan kebutuhan dan kepentingan anak.
Hak asuh anak juga melibatkan hak anak untuk menjalin hubungan dengan kedua orang tua mereka, kecuali jika ada alasan yang cukup kuat untuk menentang hal tersebut, seperti kekerasan atau penelantaran. Dalam banyak yurisdiksi, hak asuh anak diatur oleh undang-undang yang mencakup standar dan prosedur yang harus diikuti dalam menentukan hak dan kewajiban orang tua.
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) di Indonesia, hak asuh anak diatur dalam Pasal 252 dan Pasal 253. Berikut adalah cuplikan dari kedua pasal tersebut:
Pasal 252 KUHPerdata menyatakan:
 Orang tua bersama-sama berhak atas anaknya. Jika perkawinan itu terputus, pengadilan dapat memberikan hak yang lebih besar atas anak kepada salah satu dari kedua orang tua.
Pasal 253 KUHPerdata menyatakan:
 Jika orang tua tidak hidup bersama atau tinggal di tempat yang jauhnya begitu jauh sehingga sulit bagi mereka untuk menentukan persetujuan yang bersamaan dalam hal pendidikan dan pengasuhan anak, pengadilan dapat memberikan hak pengasuhan anak kepada salah satu dari kedua orang tua.
Kedua pasal ini memberikan kerangka hukum mengenai hak asuh anak, baik dalam konteks orang tua yang masih dalam perkawinan maupun setelah terjadinya perceraian atau pemisahan. Pasal-pasal ini menegaskan bahwa hak asuh anak bisa diberikan secara bersama-sama kepada kedua orang tua atau kepada salah satu orang tua tergantung pada keadaan dan kepentingan terbaik anak.
2. Penyebab hak asuh anak
 Penyebab  terjadinya  hak  asuh  anak biasanya  disebabkan  oleh  perceraian  kedua orang  tua  dari  anak  tersebut.  Sebagai  orang tua, tentunya mereka semua ingin mendapatkan  hak  asuh  atas  anak-anaknya. Jika  hak  asuh  anak  diberikan,  baik  ayah maupun  ibu  berhak  untuk  tinggal  bersama anak itu dan merawatnya.
Dalam  hal  ini,  jika  istri  menggugat cerai   di   pengadilan,   maka   dia   dapat mendaftarkan  kasusnya  di  pengadilan  agama Islam  dan  pengadilan  agama  dan  agama daerah  lainnya.  Pihak  yang  memperoleh  hak asuh  anak  tidak  mutlak  adalah  ibu.  Ada beberapa  kemungkinan  atau  hal  yang  bisa seorang  ayah  memperoleh  hak  asuh  anak yang  di  bawah  umur.  Bahkan  jika  ayah  tidak memiliki  hak  asuh  anak,  ia  tetap  memiliki kewajiban untuk menafkahi anaknya.
Pasal  38  Undang-Undang  Nomor  1 Tahun   1974   Tentang   Perkawinan   yang menyatakan  bahwaperkawinan  dapat  putus karena  atas  keputusan  Pengadilan.  Sehingga perceraian  tidak  akan  sah  tanpa  melalui  jalur hukum, dan Anda tidak pula bisa mendapatkan hak  asuh  yang  sah  apabila  tidak  memiliki putusan dari pengadilan.
Hal ini didukung oleh pernyataandalamPasal   41Undang-Undang No   1 tahun   1974yaitubilamana   terjadi perselisihan  mengenai  penguasaan  anak-anak antara  mantan  pasangan  ataupun  keluarganya, maka  Pengadilan  yang  akan  memberikan putusan terkait hak asuh atas anak tersebut.
- Hak asuh anak jatuh ke tangan ibu
Pada dasarnya,  ibu  dianggap  sebagai orang  yang  paling  penting  untuk  hak  asuh anak  karena  ibulah  yang  melahirkan  anak, yang  dapat  menyediakan  segala  kebutuhan anak  dan  memiliki  ikatan  yang  kuat  dengan anak.  Hak  asuh  anak  di  bawah  umur  12  tahun (belum mumayyiz) dengan demikian sepenuhnya  berada  di  tangan  ibu,  asalkan  ibu tidak  meninggal  dan  tidak  terlibat  dalam tindak pidana lainnya.
Anak mumayyizberarti mampu membedakan  hal-hal  yang  bermanfaat  dan yang  merugikan  dirinya  sendiri.  Dalam  Pasal 105  kompilasi  hukum Islam  menunjukkan bahwa  dalam  hal  perceraian,  hak  asuh  anak yang  belum mumayyizatau  belum  berusia  12 tahun menjadi hak ibu. Sementara anak di atas 12 tahun  atau mumayyiz, terserah kepada anak untuk  memilih  antara  ayah  atau  ibu  sebagai pemegang hak asuh atau Hadhanah
- Hak asuh anak jatuh ke tangan ayah
Pihak  ayah  juga  memiliki  hak  asuh anak yang belum mumayyiz(belum berusia 12 tahun),  salah  satu  alasannya  adalah  hak  asuh jatuh  ke  pihak  ayah  ketika  ibu  meninggal. Ketentuan  tersebut  dapat  dilihat  dalam  Pasal 156kompilasi hukum Islam, yaitu:
a.Wanita-wanita  dalam  garis  lurus  ke  atas dari ibu.
b.Ayah.
c.Wanita-wanita  dalam  garis  lurus  ke  atas dari ayah.
d.Saudara   perempuan   dari   anak   yang bersangkutan dane.Wanita-wanita  kerabat  sedarah  menurut garis samping dari ayah.
Pihak  ayah  juga  dapat  mengajukan gugatan  hak  asuh  dari  ayah  jika  ada  bukti kuat  bahwa  ibu  tidak  bisa  atau  tidak  layak mendapatkan  hak  asuh  anak  jika  lingkungan ibu   dipandang   berbahaya   bagi   tumbuh kembang   anak.   Misalnya,   Ibu   memiliki riwayat  pelecehan  atau kekerasan  seksual terhadap  anak  dan  bahkan  pernah  terlibat dalam  tuntutan  hukum  tertentu.  Kemudian ayah dapat membawa bukti ke pengadilan.
Dasar  hukum  peralihan  hak  asuh kepada  ayah  dari  ibu  dalam  kasus  anak  di bawah  umur  adalah  Putusan  BGH  No  102 K/Sip/1973.  Putusan  ini  mengatur  antara  lain bahwa  hak  asuh  anak  ada  pada  ibu,  kecuali jika  terbukti  bahwa  ibu  tidak  membuat anaknya lahir. Berikut  alasan  mengapa  hak  asuh  ibu  atas anak bisa hilang, yaitu:
a.Ibu Memiliki Perilaku yang Buruk
Misalnya,  jika  kesalahanibu  terbukti  di pengadilan,  hak  asuh  dapat  dialihkan kepada  ayah.  Misalnya,  perilaku  buruk  ini sering  berjudi,  mabuk-mabukan,  bersikap kasar   kepada   anak-anak,   yang   sulit disembuhkan.  Perilaku  ini  tentu  bukan contoh  yang  baik  bagi  anak  dan  dapat merugikan anak.
b.Ibu masuk ke dalam penjara
Misalnya,  jika  Ibu  melanggar  hukum  dan harus   masuk   penjara,   si   ayah   bisa mendapatkan  hak  asuh  atas  anaknya  yang berusia  5  tahun.  Pemberian  hak  asuh tersebut  tentunya  menyadari  kondisi  Ibu, tentunya  ia  tidak  akan  mampu  mengasuh anaknya  karena  harus  menjalani  hukuman penjara.
c.Ibu  tidak  Bisa  Menjamin  Keselamatan Jasmani dan Rohani Anaknya.