Mahkamah Konstitusi (MK) yang bisa dibilang kontroversial. Hal ini karena dalam salah satu Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Dalam putusan tersebut MK memaknai Pasal 169 huruf q UU Pemilu dengan menyatakan, "...q. Berusia paling rendah 40 tahun (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah".
Pada bulan Oktober 2023 masyarakat dikejutkan dengan keputusanItu artinya setiap Warga Negara Indonesia (WNI) yang sudah berusia 40 tahun atau belum berusia 40 tahun tetapi sudah pernah atau masih menjabat sebagai kepala daerah yang dipilih melalui pemilu bisa mencalonkan diri penjadi calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres). Keputusan tersebut dinilai penuh dengan unsur politis mengingat di tahun 2024 Indonesia akan mengadakan Pemilihan Umum.
Terbukti setelah keputusan tersebut disahkan oleh MK, publik kembali dikejutkan dengan pendeklarasian Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto sebagai calon presiden untuk bertarung dalam Pemilihan Presiden 2024. Padahal sebelum Pasal 169 huruf q UU Pemilu itu dirubah, batas usia minimal pencalonan capres maupun cawapres adalah 40 tahun dan tanpa embel-embel lain.
Gibran Rakabuming Raka saat ini berusia 36 tahun, merupakan putra sulung Presiden Joko Widodo yang lahir pada 1 Oktober 1987. Saat ini beliau menjabat sebagai Wali Kota Surakarta sejak Februari 2021. Apabila kita mengacu pada batas usia minimal pencalonan sebelum dirubahnya pasal tersebut, maka sudah dipastikan Gibran Rakabuming Raka tidak bisa mencalonkan diri untuk mendampingi Prabowo di Pilpres 2024.
Hal yang membuat keputusan tersebut penuh dengan unsur politis adalah perubahan UU Pemilu mengenai batas usia pencalonan presiden atau wakil presiden dan mendekati batas pendaftaran capres-cawapres seperti yang sudah dipaparkan diatas, kemudian ketua MK saat ini adalah Anwar Usman yang merupakan adik ipar Presiden Jokowi dan merupakan paman dari Gibran.
Dari hal-hal diatas bisa kita analisa bahwa memang benar keputusan MK sarat akan unsur politis. Bisa dibilang keputusan ini digunakan untuk "melanggengkan" pengaruh Jokowi ketika nantinya sudah turun dari jabatannya sebagai presiden.
Seperti yang diketahui, proyek strategis nasional yang dikerjakan oleh rezim sekarang tidak akan selesai dalam waktu dekat. Sebagai contoh adalah proyek pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara di Kalimantan Timur. Apabila nantinya Presiden terpilih merupakan orang yang "kurang setuju" dengan pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Nusantara bukan hal yang mustahil pemindahan ini bakal dibatalkan, walaupun memang pemindahan ibu kota ini sudah ada undang-undangnya.
Selain program pembangunan IKN, sebagai informasi proyek strategis nasional mencakup 14 sektor pada tinggat proyek dan 12 tingkat program. Itu mencakup proyek jalan, bendungan dan irigasi, Kawasan, kereta, Perkebunan, energi, pelabuhan, air bersih dan sanitasi, bandara, pariwisata, pendidikan, tanggul, teknologi, dan perumahan. Kemudian dalam hal program yaitu ada program KEK, Â program industri gula dan sawit, program smelter, program superhub, program ketenagalistrikan, program pemerataan ekonomi, program akses exit tol, program penyediaan pangan, program kawasan strategis pariwisata, program instalasi pengolah sampah, program kawasan perbatasan, dan program percepatan pengembangan wilayah.
Kembali ke awal pembahasan, putusan soal batas usia minimal capres-cawapres ini akan sangat berdampak bagi kesehatan demokrasi dan tatanan demokrasi di Indonesia. Perjuangan tahun 1998 untuk mengembalikan demokrasi yang seutuhnya dan menghapus praktek KKN Â tercederai oleh putusan MK yang mana hukum bisa dirubah sesuai kepentingan penguasa. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara dipertaruhkan marwah dan eksistensinya. Dampak dari adanya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) sangat buruk bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Ini dikarenakan praktek KKN dapat menghambat pembangunan negara dalam merealisasikan visi negara.
Kini masyarakat lah satu-satunya kekuatan yang bisa diharapkan untuk menjaga demokrasi Indonesia agar dapat berjalan dengan baik. Dengan memilih pemimpin yang mampu membawa perubahan dan kemajuan untuk bangsa serta menjaga supremasi hukum yang baik dan benar. Masyarakat sudah cerdas dalam memilah dan memilih pemimpin di tengah putusan hukum yang kontroversial.
Pemilihan pemimpin yang benar sangat penting dilakukan karena nasib masa depan bangsa dipertaruhkan. Pemimpin yang baik haruslah memiliki integritas, kapasitas dan pengalaman yang mumpuni. Tiga hal itu haruslah dimiliki agar visi kebangsaan dapat dijalankan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI