Dari rangkuman tersebut, penulis mencoba menyusun kerangka berpikir untuk menjawab pertanyaan “apakah matematika termasuk sains?” dan “apakah sains itu Matematika?”. Dalam hal ini, yang penulis pertama lakukan yaitu mencoba mencari definisinya di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Dalam KBBI, matematika adalah ilmu tentang bilangan, hubungan antara bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan sedangkan sains adalah (1) ilmu pengetahuan pada umumnya; (2) pengetahuan sistematis tentang alam dan dunia fisik, termasuk di dalamnya, botani, fisika, kimia, geologi, zoologi, dan sebagainya; (3) pengetahuan sistematis yang diperoleh dari sesuatu observasi, penelitian, dan uji coba yang mengarah pada penentuan sifat dasar atau prinsip sesuatu yang sedang diselidiki, dipelajari, dan sebagainya.
Dari dua definisi tersebut, dapat diperoleh pembeda signifikan diantara matematika dan sains adalah objeknya, dalam hal ini, objek dalam matematika adalah bilangan sedangkan sains adalah alam dan dunia fisik. Suatu pertanyaan yang muncul kemudian adalah ”apakah bilangan termasuk ke dalam alam dan dunia fisik?” atau “apakah bilangan adalah alat untuk menjelaskan alam dan dunia fisik?”. Hal ini berkorelasi dengan catatan dalam diskusi yaitu matematika merupakan suatu alat.
Menurut referensi[2], pandangan matematika sebagai alat merupakan perspektif yang lebih bersifat kontekstual daripada ontologis (berkaitan dengan hakikat dan struktur). Artinya ketika matematika digunakan sebagai alat, penalaran matematika internal dikesampingkan yang akibatnya terdapat aturan baku atau kondisi yang harus diperhatikan seperti kesesuaian, keefektifan, optimalitas, dan lain-lain. Dalam hal objek matematika terdapat dua aliran terkenal yaitu Platonism dan Aristotelianism[3].
Platonism mengaitkan objek matematika dengan suatu realitas dalam arti tertentu yang harus abstrak dan terpisah dari objek fisik, dan menganggap objek matematika sebagai hal-hal individual. Tetapi Aristotelianism menganggap simetri, rasio (penalaran), dan sifat matematika lainnya mampu mewujudkan banyak realisasi dalam realitas fisik, dan realitas lain apa pun yang mungkin ada. Berdasarkan hal ini, jika dipandang dari Aristotelianism dan dikaitkan dengan definisi sains dapat dimungkinkan matematika adalah sains.
Dari pandangan penulis dari perspektif ontologi, sebagian besar matematika telah memenuhi tiga aspek hakikat sains yang telah disebutkan sebelumnya. Namun, dari pengamatan penulis, matematika lebih menekankan kegiatan dalam dunia rasio (penalaran), bukan menekankan dari hasil eksperimen atau dengan kalimat lain, hasil observasi matematika terbentuk karena pikiran-pikiran manusia, yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran.
Selain itu, konten materi yang dipelajari dalam matematika tidak terindera (tidak dirasakan oleh panca indera manusia) sehingga hal ini membuat matematika berbeda dengan ilmu alam (natural sciences) seperti fisika, kimia, dan ilmu lainnya yang terkait dengan alam. Dalam hal ini, konten-konten dalam matematika cenderung berasal dari ide (gagasan) atau konsep di alam pikiran, yang dibahas, dikupas, dan didalami dari waktu ke waktu. Oleh sebab itu, kesimpulan penulis adalah matematika dapat dianggap sebagai ‘sains’ dalam arti suatu sistem pengetahuan, tetapi bukan bagian dari ilmu alam (natural sciences). Atau Secara sederhana Matematika adalah alat untuk mempelajari Sains itu Sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H