Kita belajar dari krisis ekonomi tahun 1997-1998. Akibat krisis itu, pembangunan infrastruktur terhambat lantaran minimnya APBN yang dialokasikan pada pembangunan sektor ini.
Sebagian besar dari anggaran itu telah digunakan untuk kepentingan pembangunan Trans Papua yang saat ini tinggal 827 km lagi masih berupa hutan. Sebagai bangsa kita berharap, dengan adanya Trans Papua, akan mampu membuat harga-harga barang di daerah menjadi lebih terjangkau, bahkan bisa turun drastis. Tidak ada lagi air mineral di Papua yang dijual dengan harga Rp 50.000 per botol, atau bensin yang dijual seharga Rp 100 ribu per botol lantaran ketiadaan akses ke kota lewat jalan darat.
Ke depan, semua wilayah kabupaten akan terhubung dengan jalan darat. Jalan darat itu akan terhubung dengan jalan utama (Jalan Trans Papua) yang membentang dari Sorong, Manokwari, Wondama Nabire, Enarotali, Sugapa, Bioga, Ilaga, Sinak, Mulia, Ilu, Karubaga, Elelim dan Jayapura. Sementara jalur lintas bawah ada jalan utama yang menghubungkan Wamena, Habema, Mapenduma, Paro, Kenyam, Dekai, Oksibil, Iwur, Tanah Merah, Waropko, dan Merauke.
Bisa dibayangkan betapa besarnya dana investasi pembangunan yang harus disediakan Pemerintah untuk merampungkan pembangunan Trans Papua itu. Tetapi melihat manfaatnya yang begitu besar untuk menstimulasi tumbuh dan terdistribusinya ekonomi masyarakat di Papua, serta kemampuannya untuk mendorong investasi dan ekspor, rasanya pengorbanan besar yang dilakukan merupakan pengorbanan yang pantas dan sebanding dengan manfaat yang akan diraih. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H