Mohon tunggu...
sabam manurung
sabam manurung Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ribut-ribut soal BDB

4 September 2015   00:57 Diperbarui: 4 September 2015   01:06 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber ilustrasi : kpkpos.com"][/caption]

Terpaan badai yang dialami jajaran pemprovsu (Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara) tak berhenti setelah Gubernur Sumatera Utara Non aktif, Gatot Pudjo Nugroho di tetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan KorupSi (KPK) dan telah ditahan di KPK, terpaan terbaru yang dialami jajaran Pemprovsu adalah soal alokasi dana-dana APBN yang turun dari pusat yang jumlah pembagiannya tidak merata ke seluruh kabupaten/kota di Sumatera Utara salah satunya adalah masalah alokasi BDB. Ribut-ribut soal dana pusat ini hangat diperbincangkan oleh banyak pejabat tinggi di Sumatera Utara mulai dari anggota DPRDSU (Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Utara) hingga pejabad kabupaten/Kota di Sumatera Utara dan para tokoh masyarakat, pemberitaan ini ramai diangkat di berbagai media di Sumatera Utara. Banyak dari para pejabat yang mempertanyakan mengapa besaran dana Bantuan Daerah Bawahan (BDB) tak merata di Sumatera Utara, bagaimana sebenarnya mekanisme pengalokasian dana tersebut dan bagaimana transparansinya. Beberapa anggota DPRD SU angkat bicara mengenai ketidak-merataan pembagian “kue” ini. anggota Komisi A Sutrisno Pangaribuan ST menganggap alasan ketidak-merataan pembagian BDB adalah karena pengaruh lobi dan besaran setoran daerah ke oknum-oknum mafia anggaran yang ada di jajaran Pemprovsu

“sudah menjadi rahasia umum daerah yang mendapat BDB diluar ketentuan pemerataan dan tingkat kemampuan keuangan daerah alokasinya tidak pas. Kalau bupati/walikota tidak pandai melobi dan membagi-bagi, pasti hasil BDB-nya sangat rendah”

ungkapnya seperti yang di lansir Sinar Indonesia Baru (SIB) kamis, 3 September 2015. Anggota DPRDSU yang lain yakni Drs ND Manalu juga ikut menanggapi soal ribut-ribut ketidak merataan pembagian “kue” BDB ini, beliau berpendapat tidak meratanya pembagian BDB ke berbagai daerah erat kaitannya dengan pemilihan umum Gubernur Sumatera Utara pada 2013 lalu. Pada waktu itu pemilu di Sumut dimenangkan oleh pasangan “ganteng” Gatot Pudjo Nugroho dan Tengku Erry Nuradi, dimana daerah-daerah yang memiliki suara terbanyak kepada pasangan “ganteng” akan mendapatkan “hadiah” yakni dana bantuan yang mengalir ke daerah tersebut lebih besar.

Ribut-ribut mengundang banyak pihak untuk berkomentar ini adalah karena begitu jauhnya jumlah porsi anggarannya. Semisal alokasi BDB ke kabupaten Samosir hanya Rp3 miliar berbeda jauh dibanding kabupaten Asahan yang berjumlah Rp396 miliar. Hal ini tentulah menimbulkan kecemburuan dan kemarahan dari daerah yang mendapat porsi rendah. Beredar anggapan bahwa samosir kurang kuat dalam melobi pejabat di Pemprovsu sementara Asahan dapat Besar karena Rajin bermohon dan melobi pejabat di PemprovSu.

Menaanggapi Isu tersebut Pelaksana Tugas Gubernur Sumatera HT Erry Nuradi mengkonfirmasi melalui wartawan yang menemuinya di lantai 9 kantor Gubsu Medan. Beliau mengatakan terkait besaran dana BDB mekanismenya ditentukan oleh Gubernur dan DPRDSU. “yang menentukan berapa besaran anggaran BDB itu di setiap kabupaten/kota, kalua di Provinsi itu adalah gubernur dan juga DPRD Provinsi” jadi beliau meneagaskan besaran BDB untuk ke kabupaten/Kota tidak hanya sepihak dilakukan oleh jajaran PemprovSu tetapi ditetapkan bersama DPRD Provinsi. Terkait ada tidaknya dugaan mafia anggaran di jajaran Pemprovsu, Plt gubsu ini hanya berkomentar dingin sembari mengakhiri pembicaraannya dengan wartawan “ saya tidak berani berkomentar tentang masalah itu (mafia anggaran-red) tapi kawan-kawan wartawan tahu juga kan kalua proses anggaran pemerintah itu ada juga di dewan” ungkapnya.

 

DISKRIMINASI

Berdasarkan data dari APBD Sumut tahun Anggaran 2013, pembagian dana BDB di 33 Kabupaten/kota di Sumut mengalami diskriminasi. Diketahui diantaranya kabupaten Mandailing Natal mendapat Porsi BDB yang cukup besar senilai Rp79,975 Miliar, Asahan mendapat Rp 396 miliar, sementara beberapa daerah yang mendapat alokasi BDB yang kecil diantaranya Kabupaten Samosir Rp 3,673 miliar, kabupaten Nias Barat hanya mendapat Rp1,321 Miliar, dan kabupaten Nias Rp2,986 Miliar. Tujuan pemberian dana bantuan daerah bawahan seyogianya adalah untuk meningkatkan kemampuan keuangan daerah sebagaimana yang diatur dalam Permendagri Nomor 13/2006 yang kemudian berubah mendjadi permendagri Nomor 2/2011. Seyogianya pembagian BDB ke daerah memperhatikan tingkat kemiskinan, jumlah penduduk dan jumlah wilayahnya bukan malah membagi secara diskriminasi.

 

JANGAN RIBUT-RIBUT “AYO KERJA”

Ribut-ribut mengenai ketidakmerataan porsi BDB ke berbagai kabupaten/Kota di Sumatera Utara sebenarnya sudah lama menjadi perbincangan hangat di Sumatera Utara, seolah daerah kabupaten Kota mengemis “kue” yang berwujud BDB itu. Sesungguhnya BDB tersebut bukanlah uang pemerintah provinsi tetapi dari pemerintah pusat melalui APBN, lalu diturunkan ke pemerintah Provinsi untuk selanjutnya di alokasikan ke kabupaten/kota, dimana pembagiannya memperhatikan usulan proposal dari kabupaten/Kota dan analisis kebutuhan wilayah. Kenyataannya yang terjadi di Pemprovsu adalah alokasi dana tersebut mengalami diskriminasi, apa hak pemerintah provinsi mendiskriminasikan besaran porsi BDB ke kabupaten/kota yang sesungguhnya dana APBN terbebut adalah hak yang sepatutnya diterima kabupaten/kota? Memang benar bahwa dana BDB adalah hak pemerintah kabupaten/Kota, bahwa besaran dana yang dikucurkan haruslah sesuai dengan analisis kebutuhan wilayah, bukan berdasarkan kong-kalikong antara pejabat kabupaten/kota dengan pejabat provinsi, tetapi kalau sudah begini kondisinya jangan berharap banyak dari dana tersebut, “dana BDB bukan penghasilan utama pemerintah daerah”, melainkan hanya dana stimulus dari pemerintah Pusat, artinya yang harus kita tingkatkan adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD), kita ribut-ribut disana-sini menuntut pemerataan porsi BDB tetapi PAD di daerah kita juga minim. jangan-jangan kabupaten/kota hanya berharap kucuran dana dari pusat baik itu dalam bentuk BDB, DAK, DAU dan stimulus lainnya tanpa mengupayakan penyerapan PAD yang maksimal. Banyak daerah meskipun telah otonom namun masih belum mampu mengelola daerahnya secara mandiri, belum mampu memaksaimalkan PAD diatas 10%, artinya masih berharap adanya kucuran dana dari pusat. Daerah yang otonom harusnya lebih mandiri dengan memfokuskan penghasilan utama dari sumber daya dan kekuatan ekonomi daerah sehingga PAD seimbang dengan dana yang turun dari pusat. AYO KERJA! Memaksimalkan PAD bukan duduk manis menunggu uang stimulus dari pusat.

Sumber inspirasi : pemberitaan berbagai media lokal di Sumatera Utara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun