Aku melihat di sekelilingku ada
banyak pribadi terkungkung gelisah.
Duduk terkulai di singgasana reyot.
Wajah-wajah mereka terlihat
Tegang dan tidak lagi simetris.
Di leher mereka kulihat mengenakan
Kalungan pita lusuh bermata mainan
tembaga kusam tidak pernah dicukai
Di jari-jari mereka terlihat cincin tua
bermata bebatuan sungai hutan liar
Begitu banyak yang dibanggakan dulu
sekarang sudah berkerudung malu
Mulut yang saat itu menggemakan keangkuhan
kini gemetar dengan sesekali mengucurkan
liur kumuh berbau menyengat sumsum
Kulihat mereka berusaha berdiri dari
singgasananya namun tak berdaya
Kaki-kaki sombong itu menumpu tubuh
mereka yang retak tulang pinggangnya.
Mereka saling merengkuh tapi akhirnya jatuh.
Inikah akhir keegoanmu dulu kawan-kawan?
Haruskah seperti ini akhir kebangganmu dulu?
Sanggupkah kau menanggungnya?
Atau beritahu aku, kapan kau segera berlalu?
Akan ku kunjungi peristirahatanmu dengan
Membawa bunga tabur tujuh warna dan air
bening tujuh rasa. Agar gembur tanah
timbunan itu menumbuhkan kamboja liar.
Tak kuselang waktu berlalu kutundukkan
kepalaku dengan mengkatup mata berujar
ampun dan mohon kepada Sumber Hidup.
Kiranya bermurah hatilah Dia untuk semua
Keangkuhan diriku terlepas dari rantai
Keeagoan itu.
Amin..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H