Mohon tunggu...
John L
John L Mohon Tunggu... -

Demi Kemuliaan Martabat Manusia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Air Mata Menjadi Mata Air

11 Desember 2018   05:25 Diperbarui: 11 Desember 2018   05:40 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Air mata tidak selalu mencerminkan kecengengan infantil, tetapi memantulkan kekuatan batin dari kedalaman penghayatan. Revolusioner-revolusioner ulung Ir. Soekarno misalnya gampang terharu dan meneteskan air mata. Tetapi, linangan air mata Sang Proklamator adalah air mata kekuatan yang menempatkan nestapa rakyat sebagai sumber keharuan. Air mata baginya adalah satu-satunya jalan, cara bagaimana mata berbicara ketika bibir tak kuat lagi menjelaskan apa yang telah membuat perasaannya tersobek.

Mencermati perilaku pejabat-pejabat publik dewasa ini apakah mata hati mereka masih kuat melihat dan terharu oleh derita rakyat?  

Pejabat-pejabat publik kita sekarang hanya punya mata saja. Tetapi, mata yang tidak kuat menangkap kebutuhan aktual masyarakat. Punya telinga, tetapi telinga yang tidak kuat lagi mendengar rintihan pilu rakyat. Punya hati, tetapi hati yang tidak peka terhadap penderitaan anak-anak bangsa. Punya senyum, tetapi tidak lebih dari senyum biologis. Satu senyum sebatas menggerakan otot bibir. Padahal sejatinya senyum adalah menebarkan keramahan, simpati, tanda dan symbol kasih.

Bangsa yang kuat butuh pemimpin yang berani, bukan pemimpin yang sontoloyo dan hanya turut bersedih atas masalah yang menimpa rakyat, tanpa memberi jalan keluar. Rakyat sudah muak dengan pemimpin cengeng, nestapa nihil empati. Bangsa butuh pemimpin yang efektif.

Republik ini perlu pemimpin yang tampil untuk menggelorakan rasa percaya diri rakyat, bukan menanam benih keprihatinan. Pemimpin tidak boleh kirim ratapan, tetapi harapan. Republik tidak butuh pemimpin yang hanya tahu berpidato dan berwacana, tetapi minus aksi. Bangsa butuh pemimpin yang bisa mengurai yang macet. Membongkar yang kusut dan buntu.

Air mata para pemimpin negara seharusnya air mata yang menjelma menjadi mata air belas kasih bagi penderitaan rakyat. Nestapa rakyat mesti diprioritaskan. Air mata mestinya terpancar tulus dari relung hati. Tanpa ini, air mata yang diteteskan adalah air mata yang kehilangan makna. Bukan empati, melainkan simpati. Bukan ketulusan, melainkan kemunafikan. Bukan aroma mawar, melainkan bau busuk selokan yang tersumbat.

Menangis bukanlah kesalahan yang harus dihakimi. Menangis adalah kebebasan jiwa untuk mengungkapkan perasaan yang terbiar di dasar keinginan. Menangis juga adalah salah satu bentuk doa atau ibadah. Tetapi, bukan ratapan doa untuk minta harta kekayaan. Bukan pula doa untuk minta kesuksesan dalam hidup. Melainkan ratapan doa meminta petunjuk, inspirasi, jalan untuk memperoleh semua yang Anda inginkan.

Hidup yang bebas air mata, mustahil ada. Kalau pun ada, tak akan disyukuri. Karena, kehidupan sejati hanya diperoleh lewat perjuangan yang melibatkan air mata. Tentu bukan air mata akal-akalan, melainkan air mata yang lahir dari kekuatan untuk terus berlangkah di saat-saat langkah terasa berat. Atau, ketika Anda gagal dalam hidup sekalipun.

Sukses dan gagal sama-sama memberi kontribusi penuh untuk hidup. Karena itu, ketika dihantam kegagalan bukan air mata ratapan yang mesti ditonjolkan, melainkan jalan baru patut dirintis. Kalau pun terpaksa Anda menapaki jalan yang sama, tetapi dalam semangat baru. Bukan umpatan yang harus ditampilkan, melainkan solusi alternatif menuju kesuksesan.

Kegagalan merupakan pintu menuju sukses. Di saat semua pintu tertutup, atau akses menuju sukses tersumbat rapat jangan menyerah. Kerahkan seluruh energimu untuk menemukan pintu alternatif menuju sukses.

Ketika keadaan mengharuskan Anda untuk teteskan air mata, teteskan sepuas-puasnya, karena tak semua air mata berarti lemah. Tangisan menjadi bencana bila air mata itu tidak menghasilkan mata air yang memberi Anda kekuatan baru untuk pergi dari satu kegagalan tanpa kehilangan semangat.

Bila ratapan Anda menjadi sumber air, pertanda bahwa air mata itu bukan kecengengan infantil, melainkan pantulan kekuatan batin dari kedalaman penghayatan bahwa gagal bukan bencana, melainkan anugerah. Gagal bukan momok, melainkan mosaik.

Mereka yang sukses dalam hidup adalah orang-orang yang telah melewati masa-masa terpahit dalam hidup. Mereka adalah orang-orang yang telah berulang kali menghapus air matanya.

Kegagalan bukan untuk diratapi, melainkan kesempatan untuk mencari di mana letak kekuatan Anda dan bagaimana kegagalan bisa menjadi momentum untuk membawa perbaikan.

Kegagalan memang menyakitkan dan membuat orang meneteskan air mata tanpa henti, tetapi penyembuhannya akan membawa kesuksesan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun