Ada yang menarik dari tulisan pengantar Room for Debat New York Times versi online (www.nytimes.com), tanggal 15 September 2010. Pengantar berjudul "Why is it so hard to get into college?", menuturkan dalam paragrah awalnya, "...Private institutions that were famous for admitting anyone who could pay are now highly selective..."
Berbeda dengan tren highly selective dalam penerimaan mahasiswa baru di Perguruan Tinggi Swasta (PTS) Amrik, PTS di negeri ini mengalami kecenderungan sebaliknya. PTS di Indonesia berlomba-lomba untuk menerima mahasiswa sebanyak-banyaknya. Kalaupun ada seleksi, itu (hanyalah) bersifat formalitas belaka.
Ada beberapa hal yang membuat PTS di negeri ini melakukan hal itu. Pertama, persaingan antar-PTS semakin tinggi. Jumlah mahasiswa yang "gemuk", jadi sebuah prestis tersendiri. Kedua, PTS menghidupi dirinya sendiri. Ketiga, Perguruan Tinggi Negeri sudah mulai "kemaruk" (rakus).
Bolehlah menerima mahasiswa dalam jumlah yang banyak (sekali), namun jika tidak diimbangi dengan perbaikan dalam diri PTS, itu sama saja "pinter mung ra pener".
Dalam kondisi seperti itu (penerima mahasiswa dengan jumlah besar dan tidak diimbangi dengan perbaikan), siapakah yang diuntungkan dan dirugikan...?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI